Galaksi Triangulum memiliki area pembentukan bintang aktif.(NASA, ESA, CSA, STScI)
ASTRONOM menemukan 14 galaksi yang menghentikan pembentukan bintang hanya dalam miliaran tahun pertama setelah Big Bang. Penemuan ini, berdasarkan data Teleskop Luar Angkasa James Webb (JWST), memberi gambaran baru tentang fase awal evolusi galaksi.
Galaksi bisa berhenti membentuk bintang karena beberapa sebab. Di antaranya radiasi kuat dari lubang hitam supermasif di pusatnya, atau interaksi dengan galaksi besar di sekitarnya yang menghangatkan dan menghilangkan gas dingin. Proses yang disebut stellar feedback seperti ledakan supernova atau angin bintang juga dapat mengusir gas dan memicu masa “tenang” sementara, biasanya berlangsung sekitar 25 juta tahun, sebelum pembentukan bintang dimulai kembali.
Sebelumnya, hanya empat galaksi “tidur” yang pernah ditemukan di miliaran tahun awal alam semesta, dan jumlahnya terlalu sedikit untuk memberi gambaran utuh. Namun berkat instrumen spektroskopi JWST, tim internasional yang dipimpin Alba Covelo Paz dari Universitas Geneva mengidentifikasi 14 galaksi dengan massa bervariasi, dari 40 juta hingga 30 miliar massa Matahari, yang sedang dalam jeda pembentukan bintang selama 10 hingga 25 juta tahun terakhir.
Baca juga : James Webb Ungkap Asal-Usul Cakram Ganda Galaksi, Termasuk Bima Sakti
Temuan ini mendukung teori pembentukan bintang di galaksi muda berlangsung secara “stop-and-go”, bukan terus-menerus. Meski demikian, belum jelas apakah galaksi ini akan kembali aktif atau tetap “mati” selamanya.
Karena galaksi tidur tergolong langka, astronom berharap program JWST mendatang bertajuk Sleeping Beauties dapat mengungkap berapa lama fase tenang ini berlangsung dan bagaimana siklus pembentukan bintang sebenarnya terjadi.
“Kami masih punya banyak pertanyaan, tapi penemuan ini membawa kami selangkah lebih dekat untuk memahaminya,” kata Paz. (Space/Z-2)
PARA astronom mengumumkan bahwa Teleskop Luar Angkasa James Webb telah mendeteksi black hole atau lubang hitam tertua yang diketahui di alam semesta. Penemuan ini berasal dari analisis cahaya redup yang terpancar pada masa mendekati fajar kosmik.
Lubang hitam yang paling awal diketahui di alam semesta ini adalah moster kosmik yang 10 juta kali lebih berat massanya dari matahari. Para astronom berpikir bahwa lubang hitam serupa mungkin banyak tersebar di alam semesta muda.
Kamera yang kuat yakni, James Webb Space Telescope (JWST), dengan kecanggihannya memungkinkan pengamatan ke masa awal alam semesta untuk menemukan lubang hitam supermasif yang memiliki berat 10 juta kali dari matahari.
Baca juga : Teleskop James Webb Temukan “Galaksi Infinity” dengan Tanda Kelahiran Lubang Hitam Langsung
Lubang hitam ini berada di pusat galaksi muda yang terbentuk sekitar 570 juta tahun setelah alam semesta bermula.
Raksasa kosmik ini mungkin hanya salah satu dari banyaknya lubang hitam yang terus tumbuh dengan menelan materi di sekitarnya selama periode fajar kosmik dengan periode yang dimulai sekitar 100 juta tahun setelah Big Bang ketika alam semesta awal bersinar selama satu miliar tahun.
Para astronom masih tidak yakin mengapa ada begitu banyak lubang hitam atau bagaimana mereka menjadi begitu besar. Para peneliti yang menemukan lubang hitam terbaru dengan menerbitkan temuan mereka pada jurnal per print arXiv.
Baca juga : Teleskop Webb Ungkap Pertumbuhan Cepat Lubang Hitam Purba yang sedang Melahap Galaksinya
Jurnal tersebut dipublikasikan dengan judul “A CEERS Discovery of an Accreting Supermassive Black Hole 570 Myr after the Big Bang: Identifying a Progenitor of Massive z > 6 Quasars.”
Lubang hitam terbentuk dari keruntuhan bintang raksasa dan berkembang terus-menerus dengan menelan gas, debu, bintang, serta lubang hitam lain di sekitarnya.
Pada beberapa lubang hitam yang sangat aktif, gesekan material yang berputar menuju inti menyebabkan pemanasan hingga memancaran cahaya yang dapat ditangkap teleskop. Fenomena ini dikenal sebagai inti dari galaksi aktif atau active galactic nuclei (AGN).
Para astronom menggunakan dua kamera inframerah pada Teleskop James Webb, yakni Mid-Infrared (MIRI) dan Near Infrared Camera, serta spektograf bawaan untuk pemecah cahaya menjadi frekuensi komponennya.
Dengan melakukan analisis pancaran cahaya redup dari masa awal alam semesta, mereka menemukan lonjakan frekuensi yang tak terduga. Namun, asal-usul kemunculan lubang hitam besar ini secara tiba-tiba di masa awal alam semesta masih belum terungkap.
Mulai sekarang, para peneliti akan bekerja bersama tim yang membangun MIRI untuk memindai tanda cahaya yang lebih kuat dari galaksi yang jauh.
Teleskop James Webb membantu ilmuwan memahami struktur, suhu, dan komposisi kimia planet lava yang terus berubah.(NASA)
PARA astronom mulai mengungkap rahasia planet lava. Planet yang memiliki kepadatan mirip Bumi ini berada sangat dekat dengan bintang induknya, hingga suhu siang hari yang mencapai ribuan derajat dapat melelehkan batuan permukaannya dan menciptakan lautan magma.
Planet-planet ini merupakan frontier baru dalam ilmu eksoplanet. Namun masih banyak yang belum diketahui tentang dinamika, struktur dalam, dan evolusinya.
“Planet lava berada dalam konfigurasi orbit yang sangat ekstrem, sehingga pengetahuan kita tentang planet berbatu di tata surya tidak dapat langsung diterapkan,” ujar Charles-Édouard Boukaré dari York University, Toronto, salah satu penulis studi terbaru mengenai planet lava.
Baca juga : JWST Temukan Eksoplanet Terdingin
Cetak Biru Evolusi Planet Lava
Mengingat pentingnya planet lava sebagai target observasi Teleskop James Webb (JWST), tim peneliti menyusun sebuah kerangka konseptual untuk membantu astronom memahami karakteristik planet-planet ini. Karakteristik yang termasuk kimia atmosfer, kondisi permukaan, dan sifat geologis uniknya.
Melalui pemodelan numerik, para ilmuwan memprediksi evolusi jangka panjang planet lava selama miliaran tahun, sejak terbentuk hingga mencapai keseimbangan termal. Studi ini menggabungkan ilmu mekanika fluida geofisika, atmosfer eksoplanet, dan mineralogi untuk menjelaskan bagaimana dinamika internal yang intens dan komposisi yang terus berubah membentuk planet-planet ini dari waktu ke waktu.
Menariknya, dasar model ini justru berasal dari proses geologis yang mirip dengan yang terjadi pada planet berbatu di tata surya kita.
Baca juga : Dunia Hycean: Peluang Terbaik JWST untuk Mendeteksi Tanda Kehidupan di Luar Bumi
Lautan Magma Abadi di Sisi Siang
Meski awalnya seluruh permukaan planet lava cair, seperti lautan magma di Bumi muda, mereka mengalami pendinginan dan pembentukan kerak dengan kecepatan serupa. Namun yang membedakan, sisi siang planet lava, yang selalu menghadap ke bintang karena terkunci secara gravitasi (tidal lock), tetap mempertahankan lapisan magma dangkal selama miliaran tahun.
Di sepanjang tepian lautan magma ini, kristal terus terbentuk dari batuan cair, memisahkan komponen kimia antara magma dan kristal padat. Proses ini mengubah komposisi kimia lautan magma seiring waktu, sehingga atmosfer silikat planet lava yang lebih tua mencerminkan evolusi kimia, bukan komposisi asli planet tersebut.
Artinya, ilmuwan dapat memperkirakan usia planet lava dengan menganalisis atmosfernya.
“Berbeda dengan eksoplanet seperti 55 Cancri e yang masih memiliki zat volatil, planet lava sejati diduga telah kehilangan semua volatilnya ke angkasa, namun tetap memiliki atmosfer dari batuan silikat yang menguap akibat suhu ekstrem di sisi siangnya yang mencapai 2.000-3.000 Kelvin (sekitar 1.700-2.700°C),” tulis tim peneliti dalam makalah yang dipublikasikan di Nature pada 29 Juli.
Malam yang Masih Panas
Sementara sisi malam planet tetap dalam kegelapan total, suhu awalnya cukup tinggi, sekitar 1.500 K (1.227°C), akibat panas internal. Seiring waktu, tanpa sumber panas tambahan, sisi malam ini mendingin drastis. Maka, suhu sisi malam dapat menjadi petunjuk penting dalam memahami sejarah termal dan kimiawi planet lava.
JWST kini mampu mengukur suhu sisi malam eksoplanet, membuka jalan bagi pemahaman baru tentang interior planet. Di masa depan, teleskop raksasa seperti Extremely Large Telescope yang sedang dibangun di Cile, akan menganalisis atmosfer silikat secara lebih detail, mempelajari interaksi kompleks antara atmosfer, permukaan cair, dan mineral dalam planet.
Apa yang awalnya merupakan upaya eksplorasi dengan ekspektasi rendah, kini berkembang menjadi panduan ilmiah penting untuk mengenali dan memahami kelas planet baru ini.
Berbekal model ini, tim peneliti berhasil mengamankan 100 jam waktu pengamatan JWST untuk mempelajari planet lava lebih jauh.
“Kami berharap bisa membedakan planet lava muda dari yang tua. Jika itu tercapai, ini akan menjadi langkah besar untuk keluar dari pendekatan ‘snapshot’ dalam studi eksoplanet,” kata Boukaré. (Space/Z-2)
...
►
Necessary cookies enable essential site features like secure log-ins and consent preference adjustments. They do not store personal data.
None
►
Functional cookies support features like content sharing on social media, collecting feedback, and enabling third-party tools.
None
►
Analytical cookies track visitor interactions, providing insights on metrics like visitor count, bounce rate, and traffic sources.
None
►
Advertisement cookies deliver personalized ads based on your previous visits and analyze the effectiveness of ad campaigns.
None
►
Unclassified cookies are cookies that we are in the process of classifying, together with the providers of individual cookies.