Rusa Purba Berukuran Mini Ternyata Pernah Menjelajah Seluruh Amerika Utara

Rusa Purba Berukuran Mini Ternyata Pernah Menjelajah Seluruh Amerika Utara


Rusa Purba Berukuran Mini Ternyata Pernah Menjelajah Seluruh Amerika Utara
Ilustrasi(freepik)

PARA ahli palenteolog menemukan fosil sisa-sisa rusa purba dari spesies yang telah punah bernama Eocoileus Gentryorum di Gray Fossil Site. Sebuah lokasi fosil dari periode Pliosen Awal di Timur Laut Tennessee, Amerika Serikat.

Menurut Dr. Blaine Schubert, direktur eksekutif Gray Fossil Site and Museum, lokasi ini terus memberikan penemuan luar biasa. Penemuan ini membantu mengubah pemahaman ilmuwan tentang kehidupan purba.

“Melalui penelitian kolaboratif, tim kami berhasil mengungkap cerita-crrita menakjubkan tentang bagaimana ekosistem berevolusi selama jutaan tahun,” ujar Schubert.

Ia juga menambahkan, Gray Fossil Site menyimpan jejak keberagaman satwa yang pernah hidup di wilayah Tennessee, mulai dari tapir dan mastodon hingga rusa purba. “Penemuan ini menunjukkan betapa kayanya kehidupan di masa lalu dan bagaimana beberapa spesies, seperti rusa, mampu bertahan dan beradaptasi melewati perubahan geologi selama jutaan tahun,” jelasnya.

Dalam penelitian terbaru, para paleontolog meneliti sisa-sisa fosil berupa tengkorak, satu gigi geraham atas, dan beberapa tulang tungkai. Fosil tersebut berasal dari Eocoileus gentryorum, spesies rusa purba yang pertama kali dideskripsikan pada tahun 2000.

Sebelumnya, fosil Eocoileus gentryorum hanya ditemukan di Florida. Oleh karena itu, penemuan baru di Tennessee sangat penting untuk memahami seberapa cepat spesies rusa purba ini menyebar di seluruh benua Amerika pada masa itu.

Menariknya, hasil penelitian ini juga mengungkap rusa purba ini berukuran lebih kecil dibandingkan dengan sebagian besar spesies rusa yang ada sekarang. Saat ini hanya Key Deer dari Florida dan Brocket Deer dari Amerika Tengah dan Selatan yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil.

Dr. Joshua Samuels dari East Tennessee State University menjelaskan bahwa bukti fosil dari Washington dan Florida menunjukkan penyebaran rusa purba ini berlangsung sangat cepat di seluruh Amerika Utara. Adaptasi mereka terhadap berbagai habitat, mulai dari Hutan Pasifik hingga Dataran Tinggi Appalachian, memungkinkan penyebaran tersebut.

Samuels menambahkan bahwa rusa ini kemungkinan besar memiliki peran ekologi yang sama di Hutan Appalachian. Mereka mampu bertahan dan berkembang meski terjadi perubahan iklim ekstrem dan pergeseran habitat yang telah memusnahkan banyak spesies herbivora besar lainnya. (Sci News/Z-2)

Bakteri Pemakan Metana ternyata Berperan Penting bagi Kehidupan Laba-laba Laut

Bakteri Pemakan Metana ternyata Berperan Penting bagi Kehidupan Laba-laba Laut


Bakteri Pemakan Metana ternyata Berperan Penting bagi Kehidupan Laba-laba Laut
laba-laba laut(Doc octopus)

JAUH di kedalaman gelap Samudra Pasifik, para ilmuwan menemukan strategi cara bertahan hidup yang mengejutkan dari spesies laba-laba laut baru dari genus Sericosura. 

Tim peneliti yang dipimpin oleh ahli biologi kelautan, yakni Shana Gofferdi yang berasal dari Occidental College, mencatat bahwa laba-labat laut tidak hanya mampu bertahan hidup saja, tetapi juga bereproduksi dengan cara yang unik, yaitu memelihara bakteri pemakan metana di seluruh tubuh mereka. 

Laba-laba laut ini ditemukan di sekitar area rembesan metana lepas Pantai California Selatan, pada kedalaman sekitar 3.350 kaki (1.021 meter). Dalam penelitian ini, tim peneliti mengidentifikasi tiga spesies baru laba-laba laut yang menunjukkan konfigurasi ekosistem yang belum pernah dilihat.

Berbeda dari makhluk laut biasanya, spesies ini justru “mengelola” lapisan yang menutupi tubuh mereka. Bakteri tersebut memiliki peran yang penting dalam mengubah metana, gas rumah kaca yang berbahaya, menjadi sumber nutrisi. 

Melalui analisis detail dengan menggunakan mikroskop elektron, para peneliti menemukan bahwa setiap kaki laba-laba laut dipenuhi dengan ribuan lubang kecil yang berisi bakteri methanotroph. Dari struktur inilah terbentuknya sistem simbiosis yang kompleks. 

Bakteri ini tidak hanya mengoksidasi metana, tetapi juga melepaskan karbon dioksida dan metanol, yang kemudian dimanfaatkan oleh bakteri sekunder yang hidup di tubuh spesies ini. 

Menariknya adalah, laba-laba laut ini juga melapisi kantung telur mereka dengan campuran bakteri yang sama, hal ini menandakan bahwa laba-laba laut mewariskan sumber makanannya kepada generasi berikutnya. 

Temuan ini memiliki dampak yang besar terhadap pemahaman kita mengenai siklus karbon global. Di masa lalu, ekosistem memanfaatkan metana dengan cara lebih banyak diasosiasikan dengan mikroba internal yang hidup di sedimen, bukan melalui strategi aktif hewan. 

Melimpahnya rembesan metana yang membentang luas di sepanjang garis pantai, laba-laba laut seperti Sericosura yang dapat mengolah volume gas yang besar menjadi sebelum gas tersebut mencapai atmosfer. 

Penemuan ini menunjukkan bahwa kehidupan di laut yang dalam dan gelap, memiliki cara-cara yang unik dan tak terduga untuk dapat beradaptasi dan bertahan hidup. Laba-laba laut menjadi bukti bahwa kecerdikan alam menjadi pengingat akan pentingnya menjaga ekosistem laut.

Sumber: octopus.co.id

Peneliti Ungkap Gempa Bulan Ternyata Bisa Mengancam Misi dan Pangkalan Masa Depan di Bulan

Peneliti Ungkap Gempa Bulan Ternyata Bisa Mengancam Misi dan Pangkalan Masa Depan di Bulan


Peneliti Ungkap Gempa Bulan Ternyata Bisa Mengancam Misi dan Pangkalan Masa Depan di Bulan
Astronot Apollo 17, Harrison H. Schmitt, meneliti sebuah bongkahan batu di Stasiun 6, yang terletak di kaki North Massif di lembah Taurus-Littrow.(NASA/JSC/ASU)

SAAT memasuki era baru eksplorasi luar angkasa, Amerika Serikat bersama negara lain digemparkan melalui penelitian terbaru bahwa “moonquakes” atau yang disebut dengan gempa bulan dapat menimbulkan ancaman tak terlihat bagi pendarat, hunian, dan infrastruktur.

Dalam studi yang dipublikasikan pada 30 Juli di jurnal Science Advances, para ahli geofisika meneliti lokasi pendaratan Apollo 17 di lembah Taurus-Littrow di Bulan. Ini merupakan tempat terakhir kali astronot menginjakkan kaki pada 1972. 

Hal ini dilakukan untuk memahami bagaimana aktivitas seismik membentuk lanskapnya.

Menurut penelitian tersebut, kemungkinan terjadinya moonquakes yang merusak di dekat patahan aktif diperkirakan sekitar 1 banding 20 juta. Namun, angka ini perlu dipahami dalam konteks yang tepat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gempa bulan kuno, yang disebabkan oleh retakan besar di bawah permukaan, telah berkali-kali mengguncang area itu selama puluhan juta tahun. 

Retakan ini mungkin masih aktif sampai sekarang, sehingga bisa menjadi bahaya bagi misi ke depan, apalagi jika bangunan atau infrastruktur dibangun terlalu dekat.

Ahli geofisika, Nicholas Schmerr dari University of Maryland sekaligus salah satu penulis studi ini, mengatakan dalam pernyataannya bahwa jika astronot berada di sana hanya sehari, mereka akan benar-benar dalam bahaya.

“Jika astronot berada di sana selama sehari, mereka akan sangat sial jika terjadi peristiwa moonquakes,” Ujar Nicholas.

Namun, dalam jangka waktu misi bulan selama 10 tahun, risiko tersebut meningkat menjadi sekitar 1 banding 5.500, ujarnya.

“Perbandingannya seperti dari memenangkan lotre (peluanh kecil) menjadi layaknya mendapatkan empat kartu sejenis dalam permainan poker (peluanng lebih besar),” jelas Nicholas.

Risiko kumulatif tersebut menjadi semakin penting mengingat program Artemis NASA bertujuan membangun kehadiran manusia secara permanen di Bulan. 

Studi terbaru ini menunjukkan bahwa wahana antariksa generasi baru, seperti Starship Human Landing System, kemungkinan lebih rentan terhadap pergerakan tanah dibandingkan pendahulunya pada era Apollo.

“Kami ingin memastikan eksplorasi Bulan dilakukan dengan aman dan investasi dilakukan dengan pertimbangan matang,” ujar Schmerr dalam pernyataannya.

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pembangunan sebaiknya tidak dilakukan tepat di atas tebing patahan atau patahan yang baru aktif, karena semakin jauh lokasinya dari patahan, semakin kecil tingkat risikonya.

Berbeda dengan Bumi, Bulan tidak memiliki jaringan sensor seismik. Untuk memperkirakan kekuatan dan frekuensi gempa bulan di masa lalu, tim peneliti mengandalkan bukti visual seperti tanah longsor dan jejak batu besar.

Sumber: Space.com

KPK Offside, Sebut Bupati Kolaka Timur Terjaring OTT ternyata Abdul Azis Lagi Rakernas

KPK Offside, Sebut Bupati Kolaka Timur Terjaring OTT ternyata Abdul Azis Lagi Rakernas



loading…

Bupati Kolaka Timur Abdul Azis konferensi pers bersama Bendahara Umum Partai Nasdem Ahmad Sahroni. Foto/Istimewa

JAKARTA – Bendahara Umum Partai Nasdem Ahmad Sahroni membantah secara tegas bahwa Bupati Kolaka Timur Abdul Azis terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sahroni menghormati hukum dan proses penyelidikan yang dilakukan KPK.

Namun, dia meminta lembaga antirasuah itu tidak membuat drama dalam proses penegakan hukum. “Abdul Azis ada di sebelah saya dan sedang mengikuti rakernas. Kalau berita yang tidak ada menjadi ada, itu jadi pertanyaan. Sangat disayangkan jika drama ini dimainkan oleh pihak yang kita tidak tahu maksud dan tujuannya,” kata Sahroni di Makassar, Rabu (7/8/25)

Wakil Ketua Komisi III DPR itu mengungkapkan bahwa OTT semestinya terjadi dalam satu tempat dan waktu saat tindak pidana dilakukan. Dalam kasus ini, kata dia, pernyataan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak tidak sesuai fakta karena Abdul Azis sedang berada di Jakarta, mengikuti agenda partai secara resmi.

Baca juga: OTT KPK di Sulawesi Tenggara, Bupati Kolaka Timur Diamankan

Kiladze, Kawah di Pluto Ini Ternyata Bisa Jadi Supervulkan Cryo yang Pernah Meletus Dahsyat

Kiladze, Kawah di Pluto Ini Ternyata Bisa Jadi Supervulkan Cryo yang Pernah Meletus Dahsyat


Kiladze,
Struktur misterius di Pluto yang sebelumnya dikira kawah tumbukan kini diperkirakan sebagai kaldera dari supervulkan cryo. (NASA)

SEBUAH struktur besar di Pluto yang sebelumnya diduga sebagai kawah tumbukan, kini diperkirakan merupakan kaldera dari supervulkan cryo yang meletus dalam beberapa juta tahun terakhir. Temuan ini membuka babak baru dalam pemahaman kita tentang aktivitas geologi di planet kerdil tersebut.

Penemuan ini disampaikan Al Emran, ilmuwan planet dari Jet Propulsion Laboratory (JPL), dalam konferensi ilmiah bertajuk Progress in Understanding the Pluto System di Maryland, AS, Juli lalu.

“Kami menilai kemungkinan struktur ini sebagai kaldera vulkanik es (cryovolcanic caldera), bukan hasil tumbukan meteorit,” kata Emran. “Kemungkinan bentuknya lebih mirip Kaldera Yellowstone di Wyoming.”

Dari Kawah Tumbukan Menjadi Supervulkan

Struktur yang dinamakan Kiladze awalnya diklasifikasikan sebagai kawah akibat hantaman benda luar angkasa. Bentuk ovalnya dan kedalaman sekitar 3 kilometer memang menyerupai kawah. Namun ada yang janggal: kedalamannya melebihi kawah lain dengan ukuran serupa.

Secara umum, kedalaman kawah di tata surya memiliki rasio tertentu terhadap diameternya. Dengan diameter sekitar 4 km, Kiladze seharusnya hanya sedalam 2,7 km atau bahkan lebih dangkal karena permukaan Pluto yang aktif diperkirakan akan mengisi cekungan tersebut dari waktu ke waktu.

Namun kenyataannya, Kiladze lebih dalam dari yang semestinya. Inilah yang memunculkan dugaan bahwa struktur ini adalah kaldera, cekungan besar akibat letusan gunung berapi yang kemudian runtuh.

Letusan Dahsyat di Dunia Es

Jika benar, Kiladze bisa jadi merupakan supervulkan cryo, sejenis gunung berapi yang menyemburkan es dan senyawa kimia beku alih-alih lava panas. Tim peneliti memperkirakan letusannya bisa melemparkan hingga 1.000 kilometer kubik cryomagma (campuran air dan amonia beku) ke permukaan.

Letusan tersebut kemungkinan terjadi dalam satu peristiwa besar, atau beberapa kali secara bertahap. Yang jelas, material vulkaniknya tersebar hingga lebih dari 100 kilometer dari pusat kaldera. Hal itu pun diperkirakan merupakan estimasi konservatif karena batas resolusi wahana New Horizons tidak mampu mendeteksi partikel lebih kecil.

“Satu atau lebih letusan eksplosif yang menyebabkan kolapsnya kaldera ini kemungkinan besar menyebarkan cryomagma ke area yang sangat luas,” tulis para peneliti dalam jurnal The Planetary Science Journal.

Jejak Amonia: Petunjuk Usia dan Mekanisme

Kiladze terletak di sebelah utara Sputnik Planitia, wilayah es berbentuk hati yang ikonik di Pluto. Menariknya, di sekitar Kiladze ditemukan lapisan luas es air yang mengandung senyawa amoniak misterius, sesuatu yang tidak ditemukan di area Pluto lainnya.

Amonia diyakini berperan penting dalam aktivitas cryovolkanik Pluto. Senyawa ini dapat menurunkan titik beku air, memungkinkan campuran tetap cair lebih lama di bawah permukaan Pluto yang sangat dingin. Tekanan geologi kemudian mendorong campuran ini ke permukaan, menghasilkan letusan es.

Keberadaan amonia juga membantu menentukan usia letusan. Amonia murni mudah dihancurkan oleh radiasi matahari dan kosmik. Maka dari itu, jejaknya yang masih terdeteksi menunjukkan letusan Kiladze terjadi relatif baru, paling tidak dalam 3 juta tahun terakhir.

“Jika Kiladze meletus 3 juta tahun lalu, itu berarti interior Pluto mungkin masih menyimpan panas sisa hingga sekarang,” jelas Emran.

Pluto Tidak Sepenuhnya Beku?

Permukaan Pluto diselimuti kabut tipis akibat gas metana yang mengembun dan jatuh kembali dalam bentuk partikel. Lapisan kabut ini biasanya menutupi fitur geologi seperti es air.

Namun, di sekitar Kiladze, es air justru terlihat jelas. Ini mengindikasikan  lapisan kabut belum sempat menutupinya seluruhnya, proses yang memerlukan waktu sekitar 3 juta tahun. Ini makin memperkuat dugaan bahwa letusan terjadi pada era geologi yang sangat muda. (Space/Z-2)

10 Negara Paling Malas Jalan Kaki di Dunia, Ternyata Indonesia Juaranya

10 Negara Paling Malas Jalan Kaki di Dunia, Ternyata Indonesia Juaranya



loading…

Indonesia menjadi juara dalam negara paling malas jalan kaki di dunia. Foto/Dok SindoNews

JAKARTA – Universitas Stanford pernah melakukan studi yang mengungkapkan beberapa wawasan mengejutkan tentang ketidakaktifan penduduk di seluruh dunia. Para peneliti dari universitas tersebut menganalisis data dari lebih dari 700.000 orang di 46 negara. Studi ini menggunakan ponsel pintar untuk melacak langkah harian penduduk di wilayah tersebut.

Studi ini dipublikasikan di jurnal Nature yang menyoroti disparitas aktivitas fisik di seluruh dunia. Menurut studi tersebut, beberapa negara memiliki rata-rata langkah harian yang sangat rendah di antara warganya, yang menunjukkan gaya hidup yang sangat tidak aktif. Studi ini telah memeringkat semua negara berdasarkan aktivitas pejalan kaki harian mereka dan menempatkan mereka dalam daftar negara-negara paling tidak aktif.

10 Negara Paling Malas Jalan Kaki di Dunia, Ternyata Indonesia Juaranya

1. Indonesia

Melansir Business Standard, Indonesia menduduki puncak daftar negara paling tidak aktif dengan rata-rata langkah harian terendah, hanya mencatat 3.513 langkah rata-rata per hari. Negara ini menghadapi masalah kemacetan perkotaan dan keterbatasan infrastruktur pejalan kaki yang berkontribusi pada rendahnya tingkat aktivitas.

Studi ini menyoroti perlunya inisiatif kesehatan masyarakat yang lebih baik untuk mendorong lebih banyak aktivitas fisik di kalangan masyarakat Indonesia.

2. Arab Saudi

Negara kedua dalam daftar ini adalah Arab Saudi dengan rata-rata 3.807 langkah per hari. Alasan di balik rendahnya aktivitas fisik adalah iklim panas dan faktor budaya. Masyarakat di negara ini lebih suka tinggal di dalam ruangan, terutama selama musim panas yang terik, yang menyebabkan gaya hidup yang lebih tidak aktif.

Pemerintah berupaya untuk mempromosikan aktivitas fisik, olahraga luar ruangan, dan menyelenggarakan kampanye kesadaran publik untuk mengatasi masalah ini.

Baca Juga: Ditekan Dunia Internasional, Militer Israel Mulai Jeda Taktis di Gaza

3. Malaysia

Malaysia melaporkan rata-rata langkah harian sebesar 3.963 langkah karena urbanisasi dan preferensi mereka terhadap transportasi bermotor adalah alasan utama di balik tren ini. Ada kota-kota besar dengan kemacetan lalu lintas yang tinggi sehingga membuat berjalan kaki kurang menarik.

Laporan mengklaim bahwa inisiatif kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk mendorong berjalan kaki dan pengembangan infrastruktur yang ramah pejalan kaki membantu meningkatkan tingkat aktivitas fisik di Malaysia.

4. Filipina

Filipina mencatat rata-rata 4.008 langkah per hari, menempatkannya di antara negara-negara dengan tingkat aktivitas paling rendah. Urbanisasi dan faktor sosial ekonomi memainkan peran penting dalam tren ini.

Kota-kota seperti Manila dan Cebu menghadapi tantangan seperti kemacetan lalu lintas yang tinggi dan infrastruktur pejalan kaki yang terbatas. Para ahli menyarankan untuk mempromosikan jalan kaki dan bersepeda guna meningkatkan tingkat aktivitas fisik warga Filipina.

5. Afrika Selatan

Afrika Selatan berada di peringkat kelima dalam daftar dengan rata-rata langkah harian sebesar 4.105. Keragaman geografi dan disparitas sosial ekonomi negara ini berkontribusi pada beragamnya tingkat aktivitas fisik. Wilayah perkotaan menunjukkan aktivitas fisik yang lebih rendah dibandingkan dengan wilayah pedesaan.

6. Mesir

Melansir Business Standard, Mesir juga masuk dalam daftar negara paling tidak aktif di dunia dengan rata-rata 4.315 langkah per hari. Iklim yang panas dan urbanisasi juga memainkan peran penting dalam rendahnya tingkat aktivitas.

Bukan Janji ke Ibu, Ternyata Ini Alasan Khabib Nurmagomedov Enggan Balik ke Octagon

Bukan Janji ke Ibu, Ternyata Ini Alasan Khabib Nurmagomedov Enggan Balik ke Octagon



loading…

Spekulasi seputar kembalinya Khabib Nurmagomedov memang tak pernah reda sejak ia gantung sarung tinju hampir lima tahun lalu / Foto: talkSPORT

Legenda tak terkalahkan UFC , Khabib Nurmagomedov , sepertinya tidak akan pernah kembali ke Octagon. Meskipun banyak yang merasa keputusannya untuk pensiun terlalu dini di usia 32 tahun, setelah mengalahkan Justin Gaethje dan mempertahankan gelar kelas ringan UFC untuk ketiga kalinya, Khabib punya alasan kuat di balik janji yang ia buat kepada sang ibu untuk tidak bertarung lagi.

Spekulasi seputar kembalinya The Eagle dengan rekor 29-0 ini memang tak pernah reda sejak ia gantung sarung tinju hampir lima tahun lalu. Kini, Khabib mengakui ada faktor lain yang membuatnya hampir mustahil untuk Kembali.

Lamanya waktu persiapan yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi prima pertarungan menjadi salah satu hal yang penting. Dalam sebuah penampilan di Hustle Show, Khabib Nurmagomedov blak-blakan soal persiapan yang diperlukan.

Baca Juga: Biodata dan Agama Xander Zayas: Juara Dunia Termuda Tak Terkalahkan

“Tidak, dua hingga tiga bulan tidak akan cukup. Saya akan berusia 37 tahun dalam dua bulan, di bulan September. Kalau kita bicara hipotesis, kan?,” ujarnya saat ditanya berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk kembali dikutip dari talkSPORT, Senin (28/7/2025).

Menurut Khabib, untuk kembali ke bentuk terbaiknya, ia membutuhkan setidaknya enam bulan persiapan intensif. Ia menjelaskan bahwa performa petarung di luar octagon, seperti angkat beban, kebugaran, atau lari, tidak berarti apa-apa.

Yang terpenting adalah jumlah ronde sparring yang telah dilalui dan dengan siapa ia berlatih. “Olahraga kita adalah kamu masuk satu lawan satu, pasang kuda-kudamu, dan bertarung,” tegas Khabib.

Ternyata Kentang Bisa Beracun Ini Cara Aman Menyimpannya

Ternyata Kentang Bisa Beracun Ini Cara Aman Menyimpannya


Ternyata Kentang Bisa Beracun! Ini Cara Aman Menyimpannya
Ciri kentang beracun(Freepik)

Kentang adalah salah satu bahan makanan favorit banyak orang karena kaya nutrisi, mudah diolah, dan mengenyangkan. Namun, tahukah Anda bahwa kentang bisa menjadi beracun jika tidak disimpan dan diolah dengan benar?

Kandungan senyawa berbahaya seperti solanin dapat menyebabkan keracunan, bahkan berisiko fatal dalam kasus ekstrem.

Berikut penjelasan lengkap dan cara aman menyimpan serta mengolah kentang agar tetap sehat dan aman dikonsumsi.

Solanin adalah senyawa glycoalkaloid alami yang ditemukan pada kentang, terutama di bagian kulit, mata (tunas), dan area berwarna hijau. Senyawa ini merupakan bagian dari mekanisme pertahanan alami tanaman terhadap hama, namun bisa beracun bagi manusia dalam kadar tinggi.

Menurut EFSA (European Food Safety Authority), kadar glycoalkaloid yang melebihi 100 mg/kg pada kentang segar dianggap berisiko bagi kesehatan. Gejala keracunan solanin meliputi mual, muntah, diare, nyeri perut, dan gangguan saraf.

  • Kulit kentang berwarna hijau: menunjukkan adanya klorofil dan kemungkinan tinggi kandungan solanin.
  • Bertunas: tunas atau mata kentang mengandung konsentrasi glycoalkaloid yang tinggi.
  • Lembek, keriput, atau berjamur: tanda kentang sudah rusak dan sebaiknya dibuang.
  • Rasa pahit atau terbakar di mulut: bisa jadi pertanda adanya senyawa racun.

Agar kentang tetap segar dan tidak beracun, ikuti tips penyimpanan berikut:

  1. Simpan di tempat sejuk, gelap, dan kering (idealnya suhu 5–8°C).
  2. Hindari sinar matahari langsung atau cahaya lampu karena dapat memicu proses fotosintesis dan pembentukan solanin.
  3. Jangan simpan bersama bawang merah/putih karena mempercepat pembusukan.
  4. Gunakan wadah terbuka atau kantong kertas agar kentang mendapat ventilasi yang baik.

Cara Mengolah Kentang Agar Aman Dikonsumsi

  1. Kupas kulit kentang sebelum dimasak, karena kulit merupakan tempat konsentrasi solanin tertinggi.
  2. Buang bagian hijau dan tunas secara menyeluruh. Potong bagian yang mencurigakan dengan tebal.
  3. Masak dengan suhu tinggi (≥170°C), seperti menggoreng atau memanggang. Ini membantu mengurangi kandungan glycoalkaloid.
  4. Hindari merebus kentang lalu menggunakan airnya kembali, karena racun bisa larut dalam air.

Apakah Masih Bisa Dikonsumsi Jika Bertunas?

Jika tunas masih kecil dan kentang tidak lembek, Anda boleh mengkonsumsinya dengan syarat membuang tunas dan area sekitarnya secara menyeluruh. Namun, jika jumlah tunas banyak, kentang sudah hijau atau berkeriput, sebaiknya buang saja untuk keamanan.

Kesimpulan

Kentang tetap bisa menjadi pilihan makanan sehat asalkan disimpan dan diolah dengan benar. Hindari kentang yang sudah hijau, bertunas, atau rusak. Gunakan teknik memasak yang tepat dan simpan di tempat yang sesuai untuk mencegah timbulnya racun seperti solanin.

Dengan menerapkan cara-cara di atas, Anda bisa tetap menikmati kentang secara aman dan sehat tanpa khawatir akan bahaya tersembunyi. (Z-10)

Referensi:

  • EFSA – Glycoalkaloids in Potatoes
  • MediaIndonesia.com – Benarkah Kentang Hijau Beracun?
  • EatingWell.com – Is It Safe to Eat Sprouted Potatoes?
  • FoodSafetyNews.com – EFSA on Glycoalkaloid Risks