Positive Geometry Terobosan Baru Matematika dan Fisika untuk Memahami Alam Semesta

Positive Geometry Terobosan Baru Matematika dan Fisika untuk Memahami Alam Semesta


Positive Geometry: Terobosan Baru Matematika dan Fisika untuk Memahami Alam Semesta
Bentuk geometri dari persamaan matematika (tengah) yang digunakan untuk memahami interaksi partikel dalam Diagram Feynman.(Institute for Mathematics in the Sciences)

APAKAH mungkin perilaku partikel mikroskopis dan struktur alam semesta yang sangat luas dijelaskan dengan cara yang sama? Pertanyaan inilah yang coba dijawab oleh dua matematikawan, Claudia Fevola (Inria Saclay) dan Anna-Laura Sattelberger (Max Planck Institute for Mathematics in the Sciences). 

Penelitian mereka, yang dipublikasikan di Notices of the American Mathematical Society, menawarkan sebuah pendekatan baru, yaitu positive geometry.

Sejak lama, matematika dan fisika saling bergantung. Fisika membutuhkan matematika sebagai bahasa untuk menjelaskan fenomena, sementara banyak ide matematika justru lahir karena pertanyaan fisika. Hubungan ini terlihat jelas dalam bidang teori medan kuantum dan kosmologi, di mana konsep baru dalam matematika dan fisika berkembang bersama.

Positive geometry adalah salah satu terobosan di persimpangan kedua bidang ini. Ide tersebut lahir dari pengembangan Diagram Feynman, sebuah cara tradisional yang digunakan ilmuwan fisika untuk memvisualisasikan interaksi partikel. 

Alih-alih sekadar garis dan titik dalam diagram, interaksi partikel kini bisa digambarkan sebagai bentuk geometri berdimensi tinggi. Contoh dari konsep ini adalah Amplituhedron, pertama kali diperkenalkan oleh Nima Arkani-Hamed bersama Jaroslav Trnka pada 2013.

Amplituhedron membantu menghitung kemungkinan partikel bertumbukan dengan cara yang lebih efisien dibanding metode tradisional. Menariknya, positive geometry juga bisa dipakai untuk menjelaskan kosmologi. 

Dalam penelitian kosmos, para ilmuwan menggunakan cahaya sisa dari big bang, yang dikenal sebagai cosmic microwave background, serta pola sebaran galaksi untuk mempelajari masa awal alam semesta. 

Di sini, konsep cosmological polytopes yang juga bagian dari positive geometry dipakai untuk merepresentasikan korelasi pada cahaya pertama tersebut dan membantu merekonstruksi hukum-hukum fisika yang berlaku saat semesta baru lahir.

“Positive geometry masih sangat muda, tetapi punya potensi besar untuk memengaruhi riset mendasar di fisika maupun matematika. Kini tantangan ada pada komunitas ilmiah untuk merumuskan lebih rinci objek serta teori yang muncul ini, sekaligus mengujinya,” ujar Fevola dan Sattelberger dalam artikelnya.

Penelitian ini juga menjadi bagian dari proyek internasional UNIVERSE+, sebuah kolaborasi besar yang dipimpin oleh fisikawan ternama seperti Nima Arkani-Hamed, Daniel Baumann, Johannes Henn, dan matematikawan Bernd Sturmfels. 

Proyek ini menghubungkan matematika, fisika partikel, dan kosmologi untuk membangun pemahaman baru tentang alam.

Lebih dari sekadar alat hitung, positive geometry dipandang sebagai sebuah “bahasa” yang bisa dipakai untuk menjembatani penjelasan alam pada semua skala dari partikel terkecil hingga struktur raksasa kosmos. (Science Daily/Z-2)

14 Galaksi Tertidur di Awal Alam Semesta Ditemukan Teleskop James Webb

14 Galaksi Tertidur di Awal Alam Semesta Ditemukan Teleskop James Webb


14 Galaksi “Tertidur” di Awal Alam Semesta Ditemukan Teleskop James Webb
Galaksi Triangulum memiliki area pembentukan bintang aktif.(NASA, ESA, CSA, STScI)

ASTRONOM menemukan 14 galaksi yang menghentikan pembentukan bintang hanya dalam miliaran tahun pertama setelah Big Bang. Penemuan ini, berdasarkan data Teleskop Luar Angkasa James Webb (JWST), memberi gambaran baru tentang fase awal evolusi galaksi.

Galaksi bisa berhenti membentuk bintang karena beberapa sebab. Di antaranya radiasi kuat dari lubang hitam supermasif di pusatnya, atau interaksi dengan galaksi besar di sekitarnya yang menghangatkan dan menghilangkan gas dingin. Proses yang disebut stellar feedback seperti ledakan supernova atau angin bintang juga dapat mengusir gas dan memicu masa “tenang” sementara, biasanya berlangsung sekitar 25 juta tahun, sebelum pembentukan bintang dimulai kembali.

Sebelumnya, hanya empat galaksi “tidur” yang pernah ditemukan di miliaran tahun awal alam semesta, dan jumlahnya terlalu sedikit untuk memberi gambaran utuh. Namun berkat instrumen spektroskopi JWST, tim internasional yang dipimpin Alba Covelo Paz dari Universitas Geneva mengidentifikasi 14 galaksi dengan massa bervariasi, dari 40 juta hingga 30 miliar massa Matahari, yang sedang dalam jeda pembentukan bintang selama 10 hingga 25 juta tahun terakhir.

Temuan ini mendukung teori pembentukan bintang di galaksi muda berlangsung secara “stop-and-go”, bukan terus-menerus. Meski demikian, belum jelas apakah galaksi ini akan kembali aktif atau tetap “mati” selamanya.

Karena galaksi tidur tergolong langka, astronom berharap program JWST mendatang bertajuk Sleeping Beauties dapat mengungkap berapa lama fase tenang ini berlangsung dan bagaimana siklus pembentukan bintang sebenarnya terjadi.

“Kami masih punya banyak pertanyaan, tapi penemuan ini membawa kami selangkah lebih dekat untuk memahaminya,” kata Paz. (Space/Z-2)

Teleskop James Webb Temukan Lubang Hitam Tertua di Alam Semesta, Massanya Lebih dari Matahari

Teleskop James Webb Temukan Lubang Hitam Tertua di Alam Semesta, Massanya Lebih dari Matahari


Teleskop James Webb Temukan Lubang Hitam Tertua di Alam Semesta, Massanya Lebih dari Matahari
Lubang hitam(Doc National Geographic)

PARA astronom mengumumkan bahwa Teleskop Luar Angkasa James Webb telah mendeteksi black hole atau lubang hitam tertua yang diketahui di alam semesta. Penemuan ini berasal dari analisis cahaya redup yang terpancar pada masa mendekati fajar kosmik. 

Lubang hitam yang paling awal diketahui di alam semesta ini adalah moster kosmik yang 10 juta kali lebih berat massanya dari matahari. Para astronom berpikir bahwa lubang hitam serupa mungkin banyak tersebar di alam semesta muda. 

Kamera yang kuat yakni, James Webb Space Telescope (JWST), dengan kecanggihannya memungkinkan pengamatan ke masa awal alam semesta untuk menemukan lubang hitam supermasif yang memiliki berat 10 juta kali dari matahari.

Lubang hitam ini berada di pusat galaksi muda yang terbentuk sekitar 570 juta tahun setelah alam semesta bermula.

Raksasa kosmik ini mungkin hanya salah satu dari banyaknya lubang hitam yang terus tumbuh dengan menelan materi di sekitarnya selama periode fajar kosmik dengan periode yang dimulai sekitar 100 juta tahun setelah Big Bang ketika alam semesta awal bersinar selama satu miliar tahun.

Para astronom masih tidak yakin mengapa ada begitu banyak lubang hitam atau bagaimana mereka menjadi begitu besar. Para peneliti yang menemukan lubang hitam terbaru dengan menerbitkan temuan mereka pada jurnal per print arXiv. 

Jurnal tersebut dipublikasikan dengan judul “A CEERS Discovery of an Accreting Supermassive Black Hole 570 Myr after the Big Bang: Identifying a Progenitor of Massive z > 6 Quasars.”

Lubang hitam terbentuk dari keruntuhan bintang raksasa dan berkembang terus-menerus dengan menelan gas, debu, bintang, serta lubang hitam lain di sekitarnya.

Pada beberapa lubang hitam yang sangat aktif, gesekan material yang berputar menuju inti menyebabkan pemanasan hingga memancaran cahaya yang dapat ditangkap teleskop. Fenomena ini dikenal sebagai inti dari galaksi aktif atau active galactic nuclei (AGN). 

Para astronom menggunakan dua kamera inframerah pada Teleskop James Webb, yakni Mid-Infrared (MIRI) dan Near Infrared Camera, serta spektograf bawaan untuk pemecah cahaya menjadi frekuensi komponennya.

Dengan melakukan analisis pancaran cahaya redup dari masa awal alam semesta, mereka menemukan lonjakan frekuensi yang tak terduga. Namun, asal-usul kemunculan lubang hitam besar ini secara tiba-tiba di masa awal alam semesta masih belum terungkap.

Mulai sekarang, para peneliti akan bekerja bersama tim yang membangun MIRI untuk memindai tanda cahaya yang lebih kuat dari galaksi yang jauh. 

Sumber: National Geographic