Produksi Migas RI di Semester I 2025 Rata-Rata 111,9 di Atas Target

Produksi Migas RI di Semester I 2025 Rata-Rata 111,9 di Atas Target


Produksi Migas RI di Semester I 2025 Rata-Rata 111,9% di Atas Target
Kilang minyak Pertamina.(Dok MI)

KEMENTERIAN Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat akumulasi produksi minyak dan gas bumi pada semester I 2025 mencapai rata-rata 111,9% di atas target yang ditetapkan APBN 2025 sebesar 1.610 barel setara minyak per hari (mboepd).

Pada Juni 2025 produksi minyak dan gas bumi tercatat 1.754,5 mboepd, menurun dari Mei sebesar 1.814,4 mboepd.

“(Penurunan di bulan Juni) saya sampaikan bahwa ada beberapa operator KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) yang melakukan perbaikan, servis, sehingga ada stop beberapa, butuh waktu dua minggu. Kemudian akan mulai pacu lagi di bulan Juli. Sekarang sudah jalan. Insya Allah Juli, Agustus, sudah bagus,” kata Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (11/8).

Bahlil merinci, produksi minyak bumi pada Juni 2025 mencapai 608,1 mbopd atau 100,5% dari target yang ditetapkan pada APBN 2025 sebesar 605 mbopd. Rata-rata produksi semester I 2025 mencapai 602,4 mbopd atau 99,5% dari target.

“Sejak 2008 sampai dengan 2024, menurut data yang kami dapat dari Dirjen Migas, target realisasi lifting kita tidak pernah mencapai yang sama dengan di target APBN. Tapi atas kerja sama seluruh tim sekarang di bulan Juni produksi kita itu sudah melampaui target APBN sebesar 605 dan sekarang sudah 608,” papar Bahlil.

Sementara itu produksi gas bumi pada Juni 2025 mencapai 1.146,4 mboepd atau 114% dari target. Rata-rata produksi pada semester I 2025 mencapai 1.199 mboepd atau 119% dari target.

Pemanfaatan gas bumi sendiri 69% untuk domestik dan 31% untuk ekspor.

“Kita menahan sebagian ekspor karena ingin menahan neraca komoditas kita. Perintah Bapak Presiden adalah memanfaatkan semaksimal mungkin seluruh produk-produk dalam negeri untuk kebutuhan dalam negeri. Kalau kemudian kita lebih, baru kita ekspor,” urai Bahlil. (E-4)

Badai Tarif AS Mereda, RI Berpeluang Jadi Basis Produksi Baru

Badai Tarif AS Mereda, RI Berpeluang Jadi Basis Produksi Baru


Badai Tarif AS Mereda, RI Berpeluang Jadi Basis Produksi Baru
Chief Economist Indonesia dan India HSBC Global Research Pranjul Bhandari.(Dok. Tangkapan layar Youtube.)

KEBIJAKAN tarif impor yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap berbagai negara, termasuk Indonesia, memicu perusahaan multinasional mencari lokasi baru untuk memproduksi dan memasarkan produk mereka. Kondisi ini justru berpotensi menguntungkan Indonesia dengan menjadi basis produksi baru, terutama di sektor manufaktur teknologi menengah (mid-tech) dan barang konsumsi seperti tekstil, pakaian, alas kaki, serta furnitur.

Hal ini disampaikan Chief Economist Indonesia dan India HSBC Global Research Pranjul Bhandari dalam Media Briefing HSBC: Indonesia Economy Outlook H2-2025 yang digelar daring, Jumat (8/7).

“Menurut saya, setelah badai tarif mereda, Indonesia justru berpeluang mendapat keuntungan,” ungkapnya.

Pranjul menjelaskan, ekspor Indonesia ke Tiongkok didominasi oleh komoditas, sedangkan ekspor ke negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa lebih beragam, termasuk produk konsumsi seperti tekstil, furnitur, dan alas kaki. Hanya saja, skala produksinya masih kecil. Misalnya, porsi ekspor Indonesia ke pasar Amerika Serikat baru sekitar 9% dari total ekspor, dan nilai ekspor pakaian Indonesia hanya 25% dari ekspor pakaian Vietnam.

Di saat produsen mencari tujuan baru akibat negaranya terkena tarif tinggi dari AS, Indonesia dapat menunjukkan kemampuannya meningkatkan kapasitas barang tekstil tersebut.

“Ini bisa menjadi peluang untuk mendorong investasi korporasi dan pertumbuhan ekonomi,” tambah Pranjul.

Namun, realisasi peluang ini bergantung pada reformasi yang dilakukan dalam dua tahun ke depan. Langkah yang diperlukan antara lain peningkatan infrastruktur, pengembangan tenaga kerja terampil, dan penyederhanaan regulasi bisnis.

Jika semua upaya ini dijalankan dengan baik, peluang tersebut bisa menarik arus investasi asing langsung (FDI) dan mendorong pertumbuhan dalam dua hingga tiga tahun ke depan. 

Pranjul menyebut industri mid-tech sebagai fokus utama karena rantai pasok global tengah mengalami penataan ulang di sektor ini, dan negara-negara ASEAN berpotensi besar untuk meraih manfaat.

Beberapa negara ASEAN telah mendapat keuntungan dari pergeseran ini pada masa pemerintahan Trump pertama. Menurutnya, di pemerintahan Trump kedua nanti, Indonesia dan negara ASEAN lain yang belum kebagian peluang bisa meraih manfaat di sektor padat karya seperti tekstil, pakaian, alas kaki, dan furnitur.

“Dengan skala yang diperbesar dan adanya aturan main baru, peluang untuk menarik lebih banyak FDI di sektor padat karya teknologi menengah akan semakin besar,” pungkasnya. (Ins/E-1)