Efek Cahaya Menakjubkan Seperti Sun Dog Mungkin Terjadi di Planet Jauh WASP-17b

Efek Cahaya Menakjubkan Seperti Sun Dog Mungkin Terjadi di Planet Jauh WASP-17b


Efek Cahaya Menakjubkan Seperti
Ilustrasi(Media Sosial X)

FENOMENA optik menakjubkan seperti lingkaran cahaya di sekitar bulan atau bintik terang di samping matahari, ternyata tidak hanya terjadi di Bumi. Menurut penelitian terbaru, efek serupa juga mungkin muncul di planet-planet yang berada ribuan tahun cahaya dari tata surya kita.

Dalam studi yang dipublikasikan di The Astrophysical Journal Letters pada 21 Juli lalu, ilmuwan dari Universitas Cornell mengungkap planet gas raksasa WASP-17b kemungkinan memiliki efek optik berkilau di atmosfernya.

WASP-17b pertama kali ditemukan pada 2009 dan diklasifikasikan sebagai hot Jupiter, yaitu planet gas besar yang mengorbit sangat dekat dengan bintangnya. Kedekatan ini menyebabkan planet mengalami suhu ekstrem dan angin berkekuatan badai yang dapat mencapai kecepatan hingga 16.000 km per jam.

Para peneliti memperkirakan bahwa angin kencang di atmosfer planet cukup kuat untuk menyelaraskan kristal kuarsa kecil yang melayang di lapisan atas. Proses ini mirip dengan cara kristal es di atmosfer Bumi membentuk fenomena optik seperti sun dog atau pilar cahaya berwarna pelangi yang muncul di sekitar matahari akibat pembiasan cahaya.

“Jika kita bisa mengambil gambar WASP-17b dalam panjang gelombang optik dan melihat cakram planetnya secara rinci, kita mungkin akan melihat fitur seperti sun dog,” kata Nikole Lewis, profesor astronomi di Universitas Cornell dan salah satu penulis studi tersebut.

Kristal penyebab efek ini tersusun dari kuarsa, mineral yang umum ditemukan di pasir dan batu permata. Ukurannya sangat kecil, sekitar 10.000 kristal bisa muat di lebar sehelai rambut manusia. Menurut peneliti utama Elijah Mullens, mahasiswa pascasarjana di Cornell, partikel ini bisa tersusun rapi layaknya perahu kecil yang bergerak serentak di aliran sungai.

Konsep penyelarasan mekanis seperti ini pertama kali dikemukakan pada 1952 oleh astronom Cornell, Tommy Gold, untuk menjelaskan bagaimana debu antarbintang bisa sejajar dengan aliran gas. Meskipun kini model itu telah diperbarui, Mullens dan Lewis meyakini konsep tersebut masih relevan dalam kondisi ekstrem atmosfer planet luar tata surya.

Meskipun teleskop tidak dapat secara langsung memotret fenomena tersebut karena jaraknya yang sangat jauh, keberadaannya tetap bisa dideteksi. Para ilmuwan memanfaatkan Teleskop Luar Angkasa James Webb (JWST) yang mengamati atmosfer melalui spektrum cahaya inframerah.

Pada 2023, tim yang dipimpin Lewis dan Mullens menggunakan JWST untuk mendeteksi keberadaan kristal kuarsa nano di awan lapisan atas atmosfer WASP-17b. “Kami tidak menyangka akan menemukan kristal kuarsa di atmosfer hot Jupiter,” kata Lewis.

Untuk menelusuri lebih lanjut, para peneliti membuat model simulasi yang menunjukkan bagaimana berbagai jenis kristal, termasuk kuarsa, enstatit, dan forsterit, memantulkan atau meneruskan cahaya tergantung pada orientasinya. Hasilnya menunjukkan perubahan kecil dalam orientasi partikel dapat menghasilkan perbedaan signifikan dalam sinyal cahaya yang ditangkap JWST.

Para ilmuwan menyatakan meskipun kristal tidak sepenuhnya sejajar dengan arah angin, kristal-kristal tersebut tetap bisa tersusun secara vertikal. Susunan ini, atau pengaruh dari medan listrik, dapat menghasilkan efek visual khas saat berinteraksi dengan cahaya bintang.

Mullens akan melanjutkan penelitiannya melalui program observasi JWST yang baru disetujui dan dijadwalkan berlangsung tahun depan. “Selain indah dipandang, efek-efek ini sangat kaya informasi dan bisa mengungkap banyak hal tentang interaksi partikel di atmosfer planet,” ujarnya. (Live Science/Z-2)

Ilmuwan Ungkap Misteri Planet Lava, Target Baru Teleskop James Webb

Ilmuwan Ungkap Misteri Planet Lava, Target Baru Teleskop James Webb


Ilmuwan Ungkap Misteri Planet Lava, Target Baru Teleskop James Webb
Teleskop James Webb membantu ilmuwan memahami struktur, suhu, dan komposisi kimia planet lava yang terus berubah.(NASA)

PARA astronom mulai mengungkap rahasia planet lava. Planet yang memiliki kepadatan mirip Bumi ini berada sangat dekat dengan bintang induknya, hingga suhu siang hari yang mencapai ribuan derajat dapat melelehkan batuan permukaannya dan menciptakan lautan magma.

Planet-planet ini merupakan frontier baru dalam ilmu eksoplanet. Namun masih banyak yang belum diketahui tentang dinamika, struktur dalam, dan evolusinya.

“Planet lava berada dalam konfigurasi orbit yang sangat ekstrem, sehingga pengetahuan kita tentang planet berbatu di tata surya tidak dapat langsung diterapkan,” ujar Charles-Édouard Boukaré dari York University, Toronto, salah satu penulis studi terbaru mengenai planet lava.

Cetak Biru Evolusi Planet Lava

Mengingat pentingnya planet lava sebagai target observasi Teleskop James Webb (JWST), tim peneliti menyusun sebuah kerangka konseptual untuk membantu astronom memahami karakteristik planet-planet ini. Karakteristik yang termasuk kimia atmosfer, kondisi permukaan, dan sifat geologis uniknya.

Melalui pemodelan numerik, para ilmuwan memprediksi evolusi jangka panjang planet lava selama miliaran tahun, sejak terbentuk hingga mencapai keseimbangan termal. Studi ini menggabungkan ilmu mekanika fluida geofisika, atmosfer eksoplanet, dan mineralogi untuk menjelaskan bagaimana dinamika internal yang intens dan komposisi yang terus berubah membentuk planet-planet ini dari waktu ke waktu.

Menariknya, dasar model ini justru berasal dari proses geologis yang mirip dengan yang terjadi pada planet berbatu di tata surya kita.

Lautan Magma Abadi di Sisi Siang

Meski awalnya seluruh permukaan planet lava cair, seperti lautan magma di Bumi muda, mereka mengalami pendinginan dan pembentukan kerak dengan kecepatan serupa. Namun yang membedakan, sisi siang planet lava, yang selalu menghadap ke bintang karena terkunci secara gravitasi (tidal lock), tetap mempertahankan lapisan magma dangkal selama miliaran tahun.

Di sepanjang tepian lautan magma ini, kristal terus terbentuk dari batuan cair, memisahkan komponen kimia antara magma dan kristal padat. Proses ini mengubah komposisi kimia lautan magma seiring waktu, sehingga atmosfer silikat planet lava yang lebih tua mencerminkan evolusi kimia, bukan komposisi asli planet tersebut.

Artinya, ilmuwan dapat memperkirakan usia planet lava dengan menganalisis atmosfernya.

“Berbeda dengan eksoplanet seperti 55 Cancri e yang masih memiliki zat volatil, planet lava sejati diduga telah kehilangan semua volatilnya ke angkasa, namun tetap memiliki atmosfer dari batuan silikat yang menguap akibat suhu ekstrem di sisi siangnya yang mencapai 2.000-3.000 Kelvin (sekitar 1.700-2.700°C),” tulis tim peneliti dalam makalah yang dipublikasikan di Nature pada 29 Juli.

Malam yang Masih Panas

Sementara sisi malam planet tetap dalam kegelapan total, suhu awalnya cukup tinggi, sekitar 1.500 K (1.227°C), akibat panas internal. Seiring waktu, tanpa sumber panas tambahan, sisi malam ini mendingin drastis. Maka, suhu sisi malam dapat menjadi petunjuk penting dalam memahami sejarah termal dan kimiawi planet lava.

JWST kini mampu mengukur suhu sisi malam eksoplanet, membuka jalan bagi pemahaman baru tentang interior planet. Di masa depan, teleskop raksasa seperti Extremely Large Telescope yang sedang dibangun di Cile, akan menganalisis atmosfer silikat secara lebih detail, mempelajari interaksi kompleks antara atmosfer, permukaan cair, dan mineral dalam planet.

Apa yang awalnya merupakan upaya eksplorasi dengan ekspektasi rendah, kini berkembang menjadi panduan ilmiah penting untuk mengenali dan memahami kelas planet baru ini.

Berbekal model ini, tim peneliti berhasil mengamankan 100 jam waktu pengamatan JWST untuk mempelajari planet lava lebih jauh.

“Kami berharap bisa membedakan planet lava muda dari yang tua. Jika itu tercapai, ini akan menjadi langkah besar untuk keluar dari pendekatan ‘snapshot’ dalam studi eksoplanet,” kata Boukaré. (Space/Z-2)