IDAI Mentahkan Sejumlah Mitos Seputar Pemberian MPASI

IDAI Mentahkan Sejumlah Mitos Seputar Pemberian MPASI


IDAI Mentahkan Sejumlah Mitos Seputar Pemberian MPASI
Ilustrasi(Freepik)

IKATAN Dokter Anak Indonesia (IDAI) membagikan beberapa fakta penting yang mementahkan sejumlah mitos terkait pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) pada anak.

Mitos itu mulai dari pemberian madu untuk anak yang baru lahir, hingga larangan pemberian MPASI bertekstur hingga anak tumbuh gigi.

“Beberapa masyarakat percaya anak baru lahir itu diolesi langit-langit mulutnya dengan madu dengan harapan meningkatkan daya tahan.

Padahal madu baru boleh diberikan pada anak di atas satu tahun karena memiliki kandungan Clostridium Botulinum yang dapat meningkatkan risiko infant botulism,” kata Anggota UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI Winra Pratita, dikutip Kamis (14/8).

Bakteri Clostridium Botulinum menjadi berbahaya untuk bayi di bawah satu tahun, karena sistem pencernaan mereka yang belum matang. 

Apabila bayi terinfeksi bakteri tersebut, akhirnya anak bukan menjadi sehat dan justru mengalami kelemahan otot, kesulitan bernapas, bahkan berujung kematian apabila tidak tertangani.

Mitos selanjutnya yang ditepis dan tidak lagi boleh dilakukan untuk membuat pemberian MPASI berhasil adalah pemberian makanan padat seperti pisang dilakukan pada bayi yang berusia kurang dari enam bulan.

Sama halnya yang dengan pemberian madu, pemberian makanan padat untuk bayi di bawah enam bulan tidak dianjurkan karena pencernaan mereka masih belum sempurna. Sehingga, ketika diberikan makanan yang tidak sesuai usianya tentu ada risiko tinggi sakit yang dialami khususnya diare atau sembelit.

“Jadi rekomendasi kami, pemberian MPASI itu harus tepat waktu. Karena kalau terlalu dini anak berpotensi terkena diare dan berujung pada

dehidrasi berat, yang berujung pada risiko kematian pada bayi lebih tinggi atau ada risiko lainnya seperti alergi yang menyebabkan gangguan tumbuh kembang,” kata Winra.

Selanjutnya, mitos lainnya yang kerap menganggu MPASI menjadi efektif adalah larangan memberi protein hewani hingga anak berusia 1 tahun karena adanya rasa takut anak tidak bisa mencerna dengan baik.

Mitos itu ditepis IDAI, karena seharusnya protein hewani justru menjadi fondasi penting dan diberikan sejak awal MPASI dimulai. Hal ini

karena protein hewani merupakan nutrisi makro yang penting untuk mencegah terjadinya stunting.

Hal ini juga berhubungan dengan mitos pemberian hati ayam yang dinilai berbahaya untuk MPASI, karena hati ayam dinilai sebagai jeroan yang kotor dan menjadi sumber racun untuk bayi.

IDAI menepis hal ini, karena dari deretan sumber protein hewani, hati ayam merupakan protein hewani yang mengandung banyak vitamin dan mineral terutama zat besi.

Fakta menunjukkan bahwa dalam 100 gram hati ayam terdapat 10 miligram zat besi, zat besi dalam pertumbuhan dan perkembangan anak yang menjalani MPASI berfungsi untuk menjaga anak terhindar dari anemia defisiensi zat besi.

Takhayul lainnya terkait MPASI yang tidak kalah menyesatkan adalah pemberian makanan harus dipapah atau dikunyah oleh orangtua baru diberikan kepada bayi dengan maksud agar makanan lembut dengan alami.

“Syarat MPASI yang benar adalah aman dan higienis. Artinya kalau dipapah atau dikunyah dulu sama ibunya itu sudah tidak sejalan dengan

syarat tersebut. Karena ketika dipapah ada potensi media penularan bakteri ataupun patogen. Karena sudah tidak aman dan higienis,” papar 

Winra.

Terakhir, takhayul terkait MPASI yang ditepis oleh IDAI adalah larangan pemberian makanan bertekstur pada bayi jika belum memiliki gigi.

Takhayul ini jelas menyesatkan, IDAI menyebutkan pemberian MPASI justru merupakan periode emas untuk bayi belajar tekstur makanan dengan mengunyah dan menelan.

Jika periode pengenalan tekstur terlewatkan, dikhawatirkan anak malah mengalami gangguan kemampuan makan.

Oleh karena itu, sesuai rekomendasi Kementerian Kesehatan MPASI dengan ragam teksturnya sudah harus dikenalkan pada saat bayi berusia enam bulan dimulai dengan makanan padat lumat dan secara perlahan teksturnya ditingkatkan mengikuti pertumbuhan anak. (Ant/Z-1)

Tanda-Tanda Kematian 100 Hari, 40 Hari, 7 Hari Mitos atau Fakta

Tanda-Tanda Kematian 100 Hari, 40 Hari, 7 Hari Mitos atau Fakta


Tanda-Tanda Kematian 100 Hari, 40 Hari, 7 Hari: Mitos atau Fakta?
Ilustrasi.(Freepik)

Banyak masyarakat Indonesia mempercayai adanya tanda-tanda kematian 100 hari, 40 hari, 7 hari sebelum seseorang meninggal dunia. Tanda-tanda ini sering dikaitkan dengan mitos, tradisi, atau kepercayaan spiritual.

Artikel ini akan membahas apa saja tanda-tanda tersebut, makna di baliknya, serta apakah ini hanya mitos atau ada fakta yang mendukung. Kami menulis dengan bahasa sederhana agar mudah dipahami oleh semua kalangan.

Apa Itu Tanda-Tanda Kematian?

Tanda-tanda kematian adalah peristiwa atau kejadian yang dipercaya sebagai pertanda bahwa seseorang akan meninggal dunia dalam waktu tertentu, seperti 100 hari, 40 hari, atau 7 hari sebelumnya. Kepercayaan ini banyak ditemukan dalam budaya Jawa, Sunda, dan berbagai tradisi lain di Indonesia. Meski tidak ada bukti ilmiah yang kuat, banyak orang masih mempercayainya sebagai bagian dari tradisi atau firasat.

Tanda-Tanda Kematian 100 Hari

Konon, 100 hari sebelum kematian, seseorang atau keluarganya bisa mengalami beberapa kejadian aneh. Berikut adalah beberapa tanda yang sering disebut:

  • Mimpi yang Berulang: Seseorang mungkin bermimpi tentang kematian, seperti melihat dirinya dikafani atau bertemu dengan orang yang sudah meninggal.
  • Perubahan Perilaku: Orang tersebut mungkin menjadi lebih pendiam, sering melamun, atau merasa gelisah tanpa sebab yang jelas.
  • Fenomena Alam: Ada kepercayaan bahwa hewan seperti burung gagak atau anjing yang melolong di malam hari bisa jadi pertanda.

Namun, tanda-tanda ini sering dianggap sebagai kebetulan. Penting untuk tidak langsung mempercayainya tanpa memahami konteksnya.

Tanda-Tanda Kematian 40 Hari

Pada periode 40 hari sebelum kematian, tanda-tanda yang muncul sering dikaitkan dengan hal-hal yang lebih nyata. Beberapa di antaranya adalah:

  • Kesehatan Menurun: Orang tersebut mungkin mulai merasa lemas atau sering sakit tanpa sebab medis yang jelas.
  • Firasat Kuat: Ada perasaan tidak enak atau firasat bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
  • Kejadian Mistis: Misalnya, mendengar suara aneh di rumah atau melihat bayangan yang tidak bisa dijelaskan.

Meski begitu, tanda-tanda ini bisa saja disebabkan oleh faktor psikologis atau lingkungan, bukan selalu pertanda kematian.

Tanda-Tanda Kematian 7 Hari

Tujuh hari sebelum kematian dianggap sebagai periode yang paling intens. Beberapa tanda yang sering disebut adalah:

  • Perubahan Fisik: Wajah seseorang mungkin terlihat pucat atau tubuhnya lemas meski tidak sakit parah.
  • Pertanda dari Alam: Contohnya, bunga di rumah tiba-tiba layu atau pohon besar di dekat rumah roboh tanpa sebab.
  • Kejadian Tak Biasa: Seperti lampu yang tiba-tiba mati atau benda jatuh tanpa disentuh.

Tanda-tanda ini sering membuat keluarga merasa khawatir. Namun, penting untuk tetap tenang dan tidak panik.

Mitos atau Fakta?

Banyak tanda-tanda kematian 100 hari, 40 hari, 7 hari yang beredar hanyalah mitos yang diwariskan turun-temurun. Dalam agama Islam, misalnya, waktu kematian adalah rahasia Allah dan tidak ada tanda pasti yang bisa diprediksi. Namun, beberapa orang percaya bahwa tanda-tanda ini adalah cara alam atau Tuhan memberikan isyarat kepada manusia.

Secara ilmiah, beberapa tanda seperti kesehatan menurun atau perubahan perilaku bisa dijelaskan sebagai gejala penyakit atau stres. Jadi, jika Anda atau orang terdekat mengalami tanda-tanda ini, sebaiknya konsultasikan ke dokter atau ahli kesehatan.

Bagaimana Menyikapi Tanda-Tanda Ini?

Jika Anda mendengar atau mengalami tanda-tanda kematian 100 hari, 40 hari, 7 hari, berikut adalah cara menyikapinya:

  • Jangan Panik: Banyak tanda bisa dijelaskan secara logis, seperti kelelahan atau faktor lingkungan.
  • Periksa Kesehatan: Jika ada gejala fisik, segera periksakan diri ke dokter.
  • Berdoa dan Berpasrah: Dalam banyak agama, kematian adalah takdir. Berdoa dapat memberikan ketenangan hati.

Kesimpulan

Tanda-tanda kematian 100 hari, 40 hari, 7 hari adalah bagian dari kepercayaan budaya yang masih dipegang oleh sebagian masyarakat. Meski begitu, tidak ada bukti ilmiah yang mendukung kebenaran tanda-tanda ini. Yang terpenting adalah menjalani hidup dengan baik, menjaga kesehatan, dan mempersiapkan diri secara spiritual untuk menghadapi takdir.

Mengenal Istilah Diabetes Kering dan Basah Mitos, Fakta, dan Cara Merawat Luka

Mengenal Istilah Diabetes Kering dan Basah Mitos, Fakta, dan Cara Merawat Luka


Mengenal Istilah Diabetes Kering dan Basah: Mitos, Fakta, dan Cara Merawat Luka
Ilustrasi(freepik)

BAGI penderita diabetes, akan sering mendengar isilah diabetes kering dan diabetes basah. Istilah ini sebenarnya tidak dikenal secara medis, namun sudah telanjur melekat di masyarakat.

Informasi yang beredar kerap keliru, sehingga menimbulkan kesalahpahaman, dalam memahami penyakit ini serta cara penanganannya. Diabetes kering biasanya merujuk pada situasi di mana, penderita memiliki gula darah tinggi tanpa adanya luka atau infeksi yang terlihat di tubuh.

Sebaliknya, diabetes basah dianggap sebagai kondisi yang ditandai, dengan munculnya luka yang sulit sembuh, mengeluarkan nanah, dan berbau tidak sedap. Pandangan seperti ini kurang tepat, karena baik diabetes tipe 1 maupun tipe 2 dapat menyebabkan luka jika tidak ditangani dengan benar.

Padahal, yang membedakan adalah cara pengelolaan kadar gula darah, pola hidup, dan kondisi kesehatan individu tersebut. Diabetes tidak bisa dianggap ringan, hanya karena tidak ada luka terbuka yang muncul.

Luka pada penderita diabetes umumnya disebabkan oleh tingginya kadar gula darah yang berlangsung dalam waktu lama. Situasi ini dapat merusak pembuluh darah kecil dan saraf, mengurangi kemampuan tubuh untuk merasakan rasa sakit, serta memperlambat proses penyembuhan. 

Jika tidak segera ditangani dengan tepat, luka ini bisa berkembang menjadi infeksi parah hingga memerlukan amputasi.

Perawatan untuk luka diabetes membutuhkan perhatian medis yang sesuai. Luka kecil sekalipun bisa berpotensi menjadi gangren jika tidak ditangani segera. Karena itu, menjaga kadar gula darah tetap stabil secara rutin sangat penting untuk mencegah munculnya luka.

Langkah pencegahan luka bagi penderita diabetes:

1. Menjaga Kebersihan Kaki Setiap Hari

Cuci kaki menggunakan air hangat dan sabun, lalu keringkan dengan baik, terutama di antara jari-jari. Gunakan pelembap jika diperlukan, tetapi hindari area di antara jari.

2. Gunakan Alas Kaki Yang Sesuai

Pilihlah sepatu yang nyaman, tidak terlalu ketat, dan melindungi seluruh kaki. Jangan berjalan tanpa menggunakan alas kaki, termasuk saat berada di dalam rumah.

3. Periksa Kaki Secara Rutin

Perhatikan adanya tanda-tanda seperti luka, kemerahan, bengkak, atau perubahan pada warna kulit. Jika ada yang tidak biasa, segeralah konsultasi dengan profesional medis.

4. Potong Kuku Secara Hati-Hati

Gunakan alat yang sesuai dan potong kuku secara lurus agar tidak menekan kulit di sekitarnya.

5. Hindari Penggunaan Bahan Kimia Keras

Jangan gunakan cairan antiseptik yang terlalu kuat atau obat penghilang kapalan tanpa petunjuk dari dokter.

Langkah Perawatan Luka

Jika luka sudah terjadi, berikut adalah langkah-langkah perawatan luka bagi penderita diabetes:

1. Bersihkan Luka Dengan Cairan Steril

Gunakan larutan NaCl 0,9% atau antiseptik ringan sesuai anjuran tenaga medis.

2. Gunakan Kasa Steril

Tutup luka menggunakan kasa bersih dan gantilah secara teratur, minimal dua kali sehari atau sesuai dengan kondisi luka.

3. Pantau Kondisi Luka Secara Rutin

Segera kunjungi fasilitas kesehatan jika luka tampak memburuk, mengeluarkan nanah, atau terasa sangat nyeri.

4. Jangan Menekan Atau Memijat Area Luka

Hindari penggunaan bahan tradisional atau ramuan yang belum terbukti efektif secara klinis.

5. Ikuti Anjuran Pengobatan Dari Dokter

Gunakan antibiotik atau salep sesuai resep dokter, serta kendalikan kadar gula darah melalui pola makan teratur dan pengobatan yang dianjurkan.

Pemahaman yang keliru tentang istilah diabetes kering dan diabetes basah bisa mengakibatkan keterlambatan dalam penanganan. Masyarakat harus menyadari bahwa pengelolaan diabetes, memerlukan pendekatan menyeluruh, dan bukan hanya berdasarkan gejala yang terlihat.

Meningkatnya pemahaman tentang betapa pentingnya pengendalian kadar gula darah, pola hidup yang sehat, dan perawatan luka yang benar dapat menghindarkan terjadinya komplikasi yang parah. 

Edukasi yang tepat menjadi elemen penting dalam upaya pencegahan, sehingga para penderita bisa memiliki kehidupan yang lebih sehat dan produktif. (Alodokter/Primaya Hospital/Z-2)