Piring Sabu, artefak batu unik dari Dinasti Pertama Mesir Kuno, ditemukan di makam Sabu di Saqqara. (Alamy)
SEBUAH wadah batu unik ditemukan pada 1936 di makam Sabu, pejabat Mesir Kuno dari Dinasti Pertama, di kompleks pemakaman Saqqara. Benda yang kini dikenal sebagai Piring Sabu ini awalnya ditemukan dalam keadaan pecah dan telah direkonstruksi. Saat ini, artefak tersebut tersimpan di Museum Mesir, Kairo.
Makam Sabu, berbentuk mastaba, bangunan persegi panjang berdinding miring dengan atap datar, digali arkeolog Inggris Walter Emery. Dalam laporannya, Emery menulis ruang pemakaman telah dijarah perhiasan dan logam berharganya. Meski begitu, kerangka Sabu masih utuh di dalam peti kayu, dikelilingi puluhan wadah batu dan tembikar, alat-alat batu api dan tembaga, sisa dua ekor lembu, serta sebuah mangkuk batu yang tidak biasa.
Piring Sabu berdiameter 61 cm dan tinggi 10 cm, terbuat dari metasiltstone, batuan sedimen yang telah mengalami metamorfosis ringan. Bentuknya datar dan lebar seperti mangkuk batu lain dari era itu, namun dihiasi tiga bilah tipis melengkung yang menjulang dari tepinya, menyerupai setir mobil, baling-baling, atau penutup roda.
Desain unik ini memicu berbagai spekulasi, mulai dari bagian turbin air hingga komponen pesawat luar angkasa alien. Ada pula teori yang menyebutnya sebagai wadah pembuatan bir. Namun sebagian besar arkeolog meyakini fungsinya serupa dengan mangkuk lebar lain pada masa Mesir Kuno, kemungkinan untuk menyimpan makanan atau minyak. Kehalusan bahan dan ukirannya menunjukkan piring ini bukan untuk penggunaan sehari-hari, melainkan persembahan bagi Sabu di alam baka. (Live Science/Z-2)
Setelah satu dekade misteri, ilmuwan mengungkap bakteri Vibrio pectenicida sebagai penyebab sea star wasting disease di Pantai Barat Amerika Utara.(Grant Callegari/Hakai Institute)
SETELAH lebih dari satu dekade menjadi teka-teki, para ilmuwan akhirnya berhasil mengungkap penyebab epidemi laut yang telah menghancurkan populasi miliaran bintang laut di sepanjang Pantai Barat Amerika Utara. Penyakit misterius ini, yang dikenal sebagai sea star wasting disease (penyakit pelapukan bintang laut), ternyata disebabkan bakteri, bukan oleh virus seperti yang selama ini diduga.
Dalam studi yang dipublikasikan Senin (4/8) di jurnal Nature Ecology and Evolution, para peneliti mengonfirmasi pelakunya adalah Vibrio pectenicida. Vibrio pectenicida ialah sejenis bakteri yang masih satu genus dengan penyebab kolera (Vibrio cholerae), dan dikenal merusak populasi karang serta kerang-kerangan di berbagai wilayah dunia.
Penyakit ini pertama kali mewabah pada 2013. Sejak itu telah menyerang lebih dari 20 spesies bintang laut. Spesies yang paling terdampak adalah sunflower sea star (Pycnopodia helianthoides), bintang laut raksasa yang bisa tumbuh hingga satu meter. Di sebagian besar wilayah Amerika Serikat bagian selatan, spesies ini kini nyaris punah secara fungsional. Di wilayah utara, populasinya anjlok lebih dari 87%.
Baca juga : 6 Dampak Berbahaya Menginjak Kecoa Sampai Hancur di Rumah
“Ketika kami membandingkan cairan tubuh (coelomic fluid) antara bintang laut sehat dan yang sakit, hanya ada satu perbedaan mencolok: Vibrio,” kata Alyssa Gehman, ahli ekologi penyakit laut dari Hakai Institute dan University of British Columbia, yang menjadi penulis senior studi ini. “Saat itu kami langsung merinding. Kami tahu, inilah penyebabnya.”
Untuk memastikan, tim peneliti mengekstrak strain V. pectenicida dari bintang laut yang terinfeksi, lalu menginfeksikan ke bintang laut sehat. Hasilnya: hampir semua bintang laut yang terpapar strain bernama FHCF-3 ini mati dalam waktu singkat. Ini memperkuat bukti bahwa bakteri tersebut memang penyebab utama penyakit pelapukan ini.
Dampak Ekologis yang Masif
Hilangnya sunflower sea star membawa dampak besar pada ekosistem laut. Sebagai predator alami bulu babi, bintang laut ini menjaga keseimbangan populasi di dasar laut. Tanpa mereka, populasi bulu babi meledak, yang pada gilirannya merusak hutan rumput laut (kelp forest), salah satu ekosistem laut paling produktif dan penting di dunia.
Baca juga : Inovasi untuk Jelita Tetap Nyaman dan Aktif Tanpa Bau Ketiak
Kelp berperan besar sebagai rumah bagi ribuan spesies laut, mendukung ekonomi lokal melalui sektor perikanan dan pariwisata, melindungi garis pantai dari badai, dan menyimpan karbon. Bagi komunitas pesisir termasuk masyarakat adat di kawasan Pasifik, kelp juga memiliki nilai budaya dan ekonomi yang tinggi.
“Ketika kita kehilangan miliaran bintang laut, yang hilang bukan hanya satu spesies, tetapi seluruh dinamika ekologi ikut terganggu,” ujar Melanie Prentice, penulis utama studi dan ahli ekologi evolusioner dari Hakai Institute.
Masih Banyak yang Perlu Diungkap
Gejala penyakit ini dimulai dengan luka kecil di tubuh bintang laut, yang kemudian berkembang menjadi kerusakan jaringan besar-besaran dalam waktu sekitar dua minggu hingga tubuhnya berubah menjadi semacam cairan. Karena gejalanya mirip dengan dampak stres lingkungan atau penyakit lain, para ilmuwan kesulitan memastikan penyebab pasti selama bertahun-tahun.
Kini, setelah penyebabnya berhasil diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah mencari tahu faktor pemicu munculnya bakteri ini, dan bagaimana cara menanggulanginya di masa depan.
“Memahami apa yang menyebabkan hilangnya sunflower sea star adalah langkah kunci untuk memulihkan spesies ini, sekaligus menyelamatkan seluruh ekosistem kelp yang bergantung padanya,” kata Jono Wilson, Direktur Ilmu Kelautan The Nature Conservancy wilayah California yang turut terlibat dalam studi ini. (Live Science/Z-2)
Teleskop James Webb membantu ilmuwan memahami struktur, suhu, dan komposisi kimia planet lava yang terus berubah.(NASA)
PARA astronom mulai mengungkap rahasia planet lava. Planet yang memiliki kepadatan mirip Bumi ini berada sangat dekat dengan bintang induknya, hingga suhu siang hari yang mencapai ribuan derajat dapat melelehkan batuan permukaannya dan menciptakan lautan magma.
Planet-planet ini merupakan frontier baru dalam ilmu eksoplanet. Namun masih banyak yang belum diketahui tentang dinamika, struktur dalam, dan evolusinya.
“Planet lava berada dalam konfigurasi orbit yang sangat ekstrem, sehingga pengetahuan kita tentang planet berbatu di tata surya tidak dapat langsung diterapkan,” ujar Charles-Édouard Boukaré dari York University, Toronto, salah satu penulis studi terbaru mengenai planet lava.
Baca juga : JWST Temukan Eksoplanet Terdingin
Cetak Biru Evolusi Planet Lava
Mengingat pentingnya planet lava sebagai target observasi Teleskop James Webb (JWST), tim peneliti menyusun sebuah kerangka konseptual untuk membantu astronom memahami karakteristik planet-planet ini. Karakteristik yang termasuk kimia atmosfer, kondisi permukaan, dan sifat geologis uniknya.
Melalui pemodelan numerik, para ilmuwan memprediksi evolusi jangka panjang planet lava selama miliaran tahun, sejak terbentuk hingga mencapai keseimbangan termal. Studi ini menggabungkan ilmu mekanika fluida geofisika, atmosfer eksoplanet, dan mineralogi untuk menjelaskan bagaimana dinamika internal yang intens dan komposisi yang terus berubah membentuk planet-planet ini dari waktu ke waktu.
Menariknya, dasar model ini justru berasal dari proses geologis yang mirip dengan yang terjadi pada planet berbatu di tata surya kita.
Baca juga : Dunia Hycean: Peluang Terbaik JWST untuk Mendeteksi Tanda Kehidupan di Luar Bumi
Lautan Magma Abadi di Sisi Siang
Meski awalnya seluruh permukaan planet lava cair, seperti lautan magma di Bumi muda, mereka mengalami pendinginan dan pembentukan kerak dengan kecepatan serupa. Namun yang membedakan, sisi siang planet lava, yang selalu menghadap ke bintang karena terkunci secara gravitasi (tidal lock), tetap mempertahankan lapisan magma dangkal selama miliaran tahun.
Di sepanjang tepian lautan magma ini, kristal terus terbentuk dari batuan cair, memisahkan komponen kimia antara magma dan kristal padat. Proses ini mengubah komposisi kimia lautan magma seiring waktu, sehingga atmosfer silikat planet lava yang lebih tua mencerminkan evolusi kimia, bukan komposisi asli planet tersebut.
Artinya, ilmuwan dapat memperkirakan usia planet lava dengan menganalisis atmosfernya.
“Berbeda dengan eksoplanet seperti 55 Cancri e yang masih memiliki zat volatil, planet lava sejati diduga telah kehilangan semua volatilnya ke angkasa, namun tetap memiliki atmosfer dari batuan silikat yang menguap akibat suhu ekstrem di sisi siangnya yang mencapai 2.000-3.000 Kelvin (sekitar 1.700-2.700°C),” tulis tim peneliti dalam makalah yang dipublikasikan di Nature pada 29 Juli.
Malam yang Masih Panas
Sementara sisi malam planet tetap dalam kegelapan total, suhu awalnya cukup tinggi, sekitar 1.500 K (1.227°C), akibat panas internal. Seiring waktu, tanpa sumber panas tambahan, sisi malam ini mendingin drastis. Maka, suhu sisi malam dapat menjadi petunjuk penting dalam memahami sejarah termal dan kimiawi planet lava.
JWST kini mampu mengukur suhu sisi malam eksoplanet, membuka jalan bagi pemahaman baru tentang interior planet. Di masa depan, teleskop raksasa seperti Extremely Large Telescope yang sedang dibangun di Cile, akan menganalisis atmosfer silikat secara lebih detail, mempelajari interaksi kompleks antara atmosfer, permukaan cair, dan mineral dalam planet.
Apa yang awalnya merupakan upaya eksplorasi dengan ekspektasi rendah, kini berkembang menjadi panduan ilmiah penting untuk mengenali dan memahami kelas planet baru ini.
Berbekal model ini, tim peneliti berhasil mengamankan 100 jam waktu pengamatan JWST untuk mempelajari planet lava lebih jauh.
“Kami berharap bisa membedakan planet lava muda dari yang tua. Jika itu tercapai, ini akan menjadi langkah besar untuk keluar dari pendekatan ‘snapshot’ dalam studi eksoplanet,” kata Boukaré. (Space/Z-2)
...
►
Necessary cookies enable essential site features like secure log-ins and consent preference adjustments. They do not store personal data.
None
►
Functional cookies support features like content sharing on social media, collecting feedback, and enabling third-party tools.
None
►
Analytical cookies track visitor interactions, providing insights on metrics like visitor count, bounce rate, and traffic sources.
None
►
Advertisement cookies deliver personalized ads based on your previous visits and analyze the effectiveness of ad campaigns.
None
►
Unclassified cookies are cookies that we are in the process of classifying, together with the providers of individual cookies.