Warga, nelayan dan pelajar melaksanakan upacara HUT ke-80 RI di laut di Desa Karangkebagusan, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Minggu (17/8).(MI/Akhmad Safuan)
UPACARA HUT RI ke-80 di Desa Karangkebagusan, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Minggu (17/8), dilaksanakan dengan berendam di laut setinggi pinggang orang dewasa.
Meskipun dilaksanakan dengan cara berendam di laut, upacara yang diikuti warga nelayan dan pelajar mulai pukul 08.00 WIB tersebut berjalan lancar dan hikmat dari mulai peserta memasuki laut di pesisir pantai itu, kemudian pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
“Sudah dua kali upacara HUT RI diadakan dengan berendam di laut di desa ini dan ke depan juga akan kami gelar upacara serupa,” kata Ketua Yayasan Budidaya Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir Sapto Puji Raharjo Minggu (17/8).
Baca juga : Upacara HUT RI ke-80 di Jepara Digelar dengan Berendam di Laut
Upacara di laut ini, menurut Sapto Puji Raharjo, sebagai bentuk kecintaan warga pesisir Pantura yang sangat mencintai laut yang telah memberikan banyak kehidupan bagi warga pesisir yang sebagian besar adalah nelayan.
Peserta upacara juga tidak hanya nelayan dan warga, lanjut Sapto, melainkan juga para pelajar dari mulai tingkat SD hingga SMK yang berseragam Pramuka. Pengibar bendera dari SMKN I Jepara. “Meskipun sambil berendam di air laut setinggi 80 centimeter, namun peserta dan petugas upacara tampak semangat,” tambahnya.
Selain mengibarkan bendera merah putih di sebuah tiang yang ditancapkan di dasar laut, ujar Sapto, para peserta juga menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, membacakan teks Pancasila, Pembukaan UUD 45 dan Proklamasi seperti umumnya upacara bendera HUT RI. (E-2)
JAUH di kedalaman gelap Samudra Pasifik, para ilmuwan menemukan strategi cara bertahan hidup yang mengejutkan dari spesies laba-laba laut baru dari genus Sericosura.
Tim peneliti yang dipimpin oleh ahli biologi kelautan, yakni Shana Gofferdi yang berasal dari Occidental College, mencatat bahwa laba-labat laut tidak hanya mampu bertahan hidup saja, tetapi juga bereproduksi dengan cara yang unik, yaitu memelihara bakteri pemakan metana di seluruh tubuh mereka.
Laba-laba laut ini ditemukan di sekitar area rembesan metana lepas Pantai California Selatan, pada kedalaman sekitar 3.350 kaki (1.021 meter). Dalam penelitian ini, tim peneliti mengidentifikasi tiga spesies baru laba-laba laut yang menunjukkan konfigurasi ekosistem yang belum pernah dilihat.
Baca juga : Misteri Hancurnya Bintang Laut Terpecahkan: Bakteri Jadi Biang Keladi, Bukan Virus
Berbeda dari makhluk laut biasanya, spesies ini justru “mengelola” lapisan yang menutupi tubuh mereka. Bakteri tersebut memiliki peran yang penting dalam mengubah metana, gas rumah kaca yang berbahaya, menjadi sumber nutrisi.
Melalui analisis detail dengan menggunakan mikroskop elektron, para peneliti menemukan bahwa setiap kaki laba-laba laut dipenuhi dengan ribuan lubang kecil yang berisi bakteri methanotroph. Dari struktur inilah terbentuknya sistem simbiosis yang kompleks.
Bakteri ini tidak hanya mengoksidasi metana, tetapi juga melepaskan karbon dioksida dan metanol, yang kemudian dimanfaatkan oleh bakteri sekunder yang hidup di tubuh spesies ini.
Baca juga : 6 Dampak Berbahaya Menginjak Kecoa Sampai Hancur di Rumah
Menariknya adalah, laba-laba laut ini juga melapisi kantung telur mereka dengan campuran bakteri yang sama, hal ini menandakan bahwa laba-laba laut mewariskan sumber makanannya kepada generasi berikutnya.
Temuan ini memiliki dampak yang besar terhadap pemahaman kita mengenai siklus karbon global. Di masa lalu, ekosistem memanfaatkan metana dengan cara lebih banyak diasosiasikan dengan mikroba internal yang hidup di sedimen, bukan melalui strategi aktif hewan.
Melimpahnya rembesan metana yang membentang luas di sepanjang garis pantai, laba-laba laut seperti Sericosura yang dapat mengolah volume gas yang besar menjadi sebelum gas tersebut mencapai atmosfer.
Penemuan ini menunjukkan bahwa kehidupan di laut yang dalam dan gelap, memiliki cara-cara yang unik dan tak terduga untuk dapat beradaptasi dan bertahan hidup. Laba-laba laut menjadi bukti bahwa kecerdikan alam menjadi pengingat akan pentingnya menjaga ekosistem laut.
Setelah satu dekade misteri, ilmuwan mengungkap bakteri Vibrio pectenicida sebagai penyebab sea star wasting disease di Pantai Barat Amerika Utara.(Grant Callegari/Hakai Institute)
SETELAH lebih dari satu dekade menjadi teka-teki, para ilmuwan akhirnya berhasil mengungkap penyebab epidemi laut yang telah menghancurkan populasi miliaran bintang laut di sepanjang Pantai Barat Amerika Utara. Penyakit misterius ini, yang dikenal sebagai sea star wasting disease (penyakit pelapukan bintang laut), ternyata disebabkan bakteri, bukan oleh virus seperti yang selama ini diduga.
Dalam studi yang dipublikasikan Senin (4/8) di jurnal Nature Ecology and Evolution, para peneliti mengonfirmasi pelakunya adalah Vibrio pectenicida. Vibrio pectenicida ialah sejenis bakteri yang masih satu genus dengan penyebab kolera (Vibrio cholerae), dan dikenal merusak populasi karang serta kerang-kerangan di berbagai wilayah dunia.
Penyakit ini pertama kali mewabah pada 2013. Sejak itu telah menyerang lebih dari 20 spesies bintang laut. Spesies yang paling terdampak adalah sunflower sea star (Pycnopodia helianthoides), bintang laut raksasa yang bisa tumbuh hingga satu meter. Di sebagian besar wilayah Amerika Serikat bagian selatan, spesies ini kini nyaris punah secara fungsional. Di wilayah utara, populasinya anjlok lebih dari 87%.
Baca juga : 6 Dampak Berbahaya Menginjak Kecoa Sampai Hancur di Rumah
“Ketika kami membandingkan cairan tubuh (coelomic fluid) antara bintang laut sehat dan yang sakit, hanya ada satu perbedaan mencolok: Vibrio,” kata Alyssa Gehman, ahli ekologi penyakit laut dari Hakai Institute dan University of British Columbia, yang menjadi penulis senior studi ini. “Saat itu kami langsung merinding. Kami tahu, inilah penyebabnya.”
Untuk memastikan, tim peneliti mengekstrak strain V. pectenicida dari bintang laut yang terinfeksi, lalu menginfeksikan ke bintang laut sehat. Hasilnya: hampir semua bintang laut yang terpapar strain bernama FHCF-3 ini mati dalam waktu singkat. Ini memperkuat bukti bahwa bakteri tersebut memang penyebab utama penyakit pelapukan ini.
Dampak Ekologis yang Masif
Hilangnya sunflower sea star membawa dampak besar pada ekosistem laut. Sebagai predator alami bulu babi, bintang laut ini menjaga keseimbangan populasi di dasar laut. Tanpa mereka, populasi bulu babi meledak, yang pada gilirannya merusak hutan rumput laut (kelp forest), salah satu ekosistem laut paling produktif dan penting di dunia.
Baca juga : Inovasi untuk Jelita Tetap Nyaman dan Aktif Tanpa Bau Ketiak
Kelp berperan besar sebagai rumah bagi ribuan spesies laut, mendukung ekonomi lokal melalui sektor perikanan dan pariwisata, melindungi garis pantai dari badai, dan menyimpan karbon. Bagi komunitas pesisir termasuk masyarakat adat di kawasan Pasifik, kelp juga memiliki nilai budaya dan ekonomi yang tinggi.
“Ketika kita kehilangan miliaran bintang laut, yang hilang bukan hanya satu spesies, tetapi seluruh dinamika ekologi ikut terganggu,” ujar Melanie Prentice, penulis utama studi dan ahli ekologi evolusioner dari Hakai Institute.
Masih Banyak yang Perlu Diungkap
Gejala penyakit ini dimulai dengan luka kecil di tubuh bintang laut, yang kemudian berkembang menjadi kerusakan jaringan besar-besaran dalam waktu sekitar dua minggu hingga tubuhnya berubah menjadi semacam cairan. Karena gejalanya mirip dengan dampak stres lingkungan atau penyakit lain, para ilmuwan kesulitan memastikan penyebab pasti selama bertahun-tahun.
Kini, setelah penyebabnya berhasil diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah mencari tahu faktor pemicu munculnya bakteri ini, dan bagaimana cara menanggulanginya di masa depan.
“Memahami apa yang menyebabkan hilangnya sunflower sea star adalah langkah kunci untuk memulihkan spesies ini, sekaligus menyelamatkan seluruh ekosistem kelp yang bergantung padanya,” kata Jono Wilson, Direktur Ilmu Kelautan The Nature Conservancy wilayah California yang turut terlibat dalam studi ini. (Live Science/Z-2)
Malaysia menolak istilah Ambalat yang dipakai Indonesia dalam menamai wilayah sengketa. Malaysia menamainya dengan Laut Sulawesi. Foto/Wikimedia Commons
JAKARTA – Malaysia telah menegaskan kembali klaim kedaulatannya atas wilayah sengketa Blok ND-6 dan ND-7, yang oleh Indonesia dinamai sebagai Blok Ambalat. Kuala Lumpur menolak menggunakan istilah “Ambalat” dan menamainya dengan “Laut Sulawesi”.
Itu disampaikan Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Mohamad Hasan. Diplomat yang juga dikenal sebagai Tok Mat itu mengatakan bahwa klaim Indonesia yang merujuk pada Ambalat mencakup sebagian Laut Sulawesi.
“Malaysia menegaskan bahwa Blok ND-6 dan ND-7 berada dalam wilayah kedaulatan Malaysia dan hak kedaulatan negara berdasarkan hukum internasional, yang didukung oleh putusan Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 2002,” katanya.
Baca Juga: Ketika Indonesia Kerahkan Sistem Rudal KHAN di Tengah Sengketa Ambalat dengan Malaysia
“Oleh karena itu, istilah yang lebih akurat untuk wilayah yang dimaksud yang sejalan dengan posisi Malaysia adalah Laut Sulawesi, bukan Ambalat,” ujarnya kepada Dewan Rakyat atau Parlemen Malaysia.
60 Spesies Baru Ditemukan di Bawah Laut. FOTO/ IFL SCIENCE
LIMA – Pegunungan bawah laut di lepas pantai Pulau Paskah ditemukan menjadi rumah bagi makhluk-makhluk yang belum diketahui oleh sains.
BACA JUGA – Spesies Baru Tupai Pemakan Daging Ditemukan
Sulit untuk memahami bahwa 80 persen lautan Bumi belum pernah dipetakan, dieksplorasi, atau bahkan dilihat oleh manusia.
Namun, para ilmuwan terus-menerus menemukan bentuk kehidupan baru di bawah gelombang.
Kini terungkap bahwa pegunungan bawah laut di lepas pantai Pulau Paskah (Rapa Nui) adalah rumah bagi beragam spesies yang “menakjubkan”, puluhan di antaranya benar-benar baru bagi ilmu pengetahuan.
Para peneliti di Schmidt Ocean Institute melakukan perjalanan ke gunung laut Salas y Gómez Ridge, di lepas pantai Chili , tempat mereka menemukan 160 spesies yang belum pernah terlihat di wilayah tersebut sebelumnya, termasuk sedikitnya 50 spesies yang bahkan tidak diketahui keberadaannya.
Saat menyisir Ridge, area terpencil dan belum dieksplorasi yang membentang dari lepas pantai Chili hingga Rapa Nui, mereka menemukan karang laut dalam, spons kaca, bulu babi, cumi-cumi, ikan, moluska, kepiting, bintang laut, lobster jongkok, dan spesies lain yang belum pernah diamati sebelumnya.
“Kami telah menemukan antara 50 dan 60 spesies yang berpotensi baru pada pandangan pertama, jumlah yang kemungkinan akan bertambah karena kami memiliki banyak sampel untuk dikerjakan di laboratorium,” Ariadna Mechó, dari Barcelona Supercomputing Center, yang merupakan bagian dari ekspedisi tersebut, mengumumkan pada konferensi kelautan UNESCO minggu lalu.
...
►
Necessary cookies enable essential site features like secure log-ins and consent preference adjustments. They do not store personal data.
None
►
Functional cookies support features like content sharing on social media, collecting feedback, and enabling third-party tools.
None
►
Analytical cookies track visitor interactions, providing insights on metrics like visitor count, bounce rate, and traffic sources.
None
►
Advertisement cookies deliver personalized ads based on your previous visits and analyze the effectiveness of ad campaigns.
None
►
Unclassified cookies are cookies that we are in the process of classifying, together with the providers of individual cookies.