Kadispenad Brigjen TNI Wahyu Yudhayana mengatakan keterlibatan perwira TNI dalam kematian Prada Lucy karena mengizinkan tindak kekerasan. Foto/SindoNews
JAKARTA – TNI AD telah menetapkan 20 prajurit atas kasus kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo yang diduga dianiaya oleh para seniornya. Dari puluhan tersangka ada satu yang merupakan perwira.
Namun terkait perwira tersebut, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen TNI Wahyu Yudhayana belum bisa menyebutkan lebih lanjut. Dia menyampaikan ada pasal yang dikenakan terhadap tersangka karena membiarkan bawahannya melakukan dugaan kekerasan.
“Tadi kan pasal yang saya sampaikan tadi, sudah ada ya. Jadi ada pasal 132. Itu artinya militer yang dengan sengaja mengizinkan seorang bawahan atau militer yang lainnya untuk melakukan tindak kekerasan itu juga akan dikenai sanksi pidana,” kata Wahyu, Senin (11/8/2025).
“Karena setiap unit itu kan tentu ada struktur di kita. Ada Komandan Regu, ada Komandan Pleton, ada Komandan Kompi dan setiap prajurit itu punya atasan. Sehingga kalau tadi disampaikan apakah ada leveling itu, tentu harus ada yang bertanggung jawab terhadap kejadian di dalam unitnya,” sambungnya.
Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya.(Dok. MI/Susanto)
KORBAN kekerasan dan kekerasan seksual hingga saat ini masih belum memperoleh jaminan pasti dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal itu membuat negara pun terkesan abai dalam memberikan perlindungan komprehensif bagi korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS), terutama dari sisi layanan rehabilitatif dan kuratif.
Menanggapi hal itu, Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya menegaskan bahwa sejak awal pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Rancangan UU TPKS), urgensi layanan kuratif dan rehabilitatif bagi korban TPKS sudah menjadi perhatian utama.
Ia menekankan bahwa kehadiran negara dalam aspek ini adalah mutlak, namun belum sepenuhnya terwujud secara konkret karena belum adanya pengaturan teknis yang bisa dijadikan dasar implementasi.
Baca juga : Usman Kansong Soroti Absennya Perspektif Korban dalam Pendekatan Hukum UU TPKS
“Sejak awal dialog dibangun dalam pengusulan RUU TPKS, hal ini sudah mencuat. Ide layanan rehabilitatif, termasuk kuratif korban TPKS ini adalah ide tentang menghadirkan rasa keadilan bagi korban. Kehadiran negara dirasa mutlak diperlukan. Namun harus diakui memang hal ini butuh pengaturan detail yang dapat menjadi pijakan implementasinya,” kata Willy saat dihubungi, Jumat (1/8).
Willy juga menyebut bahwa saat ini beberapa daerah seperti DKI Jakarta dan Jawa Tengah telah mengambil langkah progresif dengan menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur penanganan korban kekerasan seksual. Ia menilai inisiatif daerah tersebut dapat dijadikan rujukan praktis secara nasional.
“Ide ini juga yang saya dan teman-teman Komisi XIII lanjutkan bersama LPSK dan BPJS. Faktanya ada beberapa daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan lainnya yang memberi alokasi untuk penanganan korban kekerasan seksual melalui Peraturan Daerah. Artinya kita sudah punya sumber pelajaran praktis yang bisa menjadi contoh,” ujarnya.
Baca juga : DPR Minta Percepatan Regulasi Turunan UU TPKS
Willy juga menyoroti belum adanya peraturan pelaksana dari UU TPKS sebagai faktor penghambat utama. Menurutnya, tanpa aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP), maka keberadaan UU TPKS terancam menjadi “macan kertas”.
“Fakta-fakta bahwa masih cukup tingginya tindak pidana kekerasan seksual dan belum adanya peraturan pelaksana UU TPKS membuat semakin mendesaknya Peraturan Pemerintah tentang TPKS ini. Tentu DPR dan Pemerintah sebagai pembuat UU TPKS tidak ingin upaya-upayanya ini hanya menjadi macan kertas yang sulit diwujudkan,” ucapnya.
Oleh karena itu, Willy mengatakan, Komisi XIII berkomitmen akan mendorong terbitnya aturan tentang penanganan kuratif dan rehabilitatif korban TPKS, termasuk pembiayaannya melalui JKN.
“Komisi XIII akan terus mengupayakan langkah yang tepat bersama pemerintah dan lembaga negara agar ada aturan segera tentang penanganan kuratif dan rehabilitatif bagi korban,” tuturnya.
“Penanganan cepat terhadap korban tentu bisa dilakukan oleh pemerintah melalui kewenangan diskresinya. Namun kita perlu produk aturan yang lebih pasti dan strategis untuk penanganan korban TPKS,” tambahnya. (H-3)
...
►
Necessary cookies enable essential site features like secure log-ins and consent preference adjustments. They do not store personal data.
None
►
Functional cookies support features like content sharing on social media, collecting feedback, and enabling third-party tools.
None
►
Analytical cookies track visitor interactions, providing insights on metrics like visitor count, bounce rate, and traffic sources.
None
►
Advertisement cookies deliver personalized ads based on your previous visits and analyze the effectiveness of ad campaigns.
None
►
Unclassified cookies are cookies that we are in the process of classifying, together with the providers of individual cookies.