Tes DNA, Penentuan Nasab dan Hukumnya dalam Islam

Tes DNA, Penentuan Nasab dan Hukumnya dalam Islam



loading…

Menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi, DNA tak bisa dijadikan bukti pengukuhan nasab dari hasil perbuatan zina. Foto ilustrasi/ist

Tes DNA yang dilakukan mantan pejabat publik RK dan seorang selegram LM banyak menyita perhatian publik Tanah Air. Bagaimana pandangan Islam terhadap tes DNA ini, dan hukumnya untuk menentukan nasab seseorang?

Dewasa ini, fakta yang terjadi di antara manusia adalah sikap tak acuh mereka terhadap syariat Islam, mereka meremehkan dharuratul khamsah (kebutuhan primer manusia). Terutama masalah keturunan atau nasab. Banyaknya perzinaan di antara manusia menjadi sumber utama rusaknya nasab ini, baik itu dari pergaulan bebas, perselingkuhan ataupun yang lainnya.

Maka, Islam memiliki kaedah-kaedah khusus yang meluruskan dan menetapkan nasab keturunan sebagaimana yang dicontohkan Nabi dahulu. Dalam Islam, hubungan nasab pada dasarnya diketahui, antara lain, dengan adanya hubungan pernikahan yang sah . Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa anak adalah hasil hubungan suami-istri yang sah (alwalidu li al firasy). Pengukuhan nasab juga bisa ditempuh dengan persaksian (bayyinah) oleh dua orang laki-laki yang memenuhi syarat. Cara selanjutnya berupa pengakuan bapak biologis di hadapan pengadilan (iqrar).

Kemunculan DNA menciptakan diskusi menarik di kalangan ahli fikih. Terlebih, isu DNA belum pernah muncul dalam kajian fikih klasik. Konsensus ulama pun terkait masalah ini belum pernah ada. Sedangkan perselisihan soal terkait atau tidaknya nasab itu sendiri pada dasarnya bisa dipicu oleh faktor sepele. Perbedaan kulit, misalnya. Konon, permasalahan tersebut pernah terjadi di antara Usamah dan Zaid bin Haritsah. Hubungan nasab antarkeduanya sempat dipersoal kan. Pasalnya, kulit Usamah ber warna hitam. Sedangkan sang ayah, Zaid, berkulit putih.

Pendapat dan Fatwa Ulama

Dalam pertemuan ke-16 Komite Fikih Islam yang digelar di Makkah pada 2002 dan dihadiri oleh ulama dan pakar di bidang kedokteran, menghasilkan beberapa rekomendasi terkait penggunaan DNA untuk memastikan nasab, antara lain, yaitu DNA digunakan dengan penuh kehati- hatian dan prosedur yang ketat. Kaidah penetapan nasab yang telah diakui syariat, harus lebih dikedepankan.

Selain itu, DNA tidak boleh dipergunakan untuk menafikan nasab yang telah dipastikan kebenarannya secara syariat. Penggunaan DNA diperbolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu, misalnya, tidak teridentifikasinya nasab karena bebe- rapa faktor, seperti ketiadaan bukti fisik ataupun bukti tertulis. Menurut komite ini pula, DNA sah dipakai untuk mengidentifikasi bayi-bayi yang tertukar ketika berada di rumah sakit.

Baca juga: Anak Hasil Perzinaan, Begini Status dan Nasabnya Menurut Islam

Menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi, DNA tak bisa dijadikan bukti pengukuhan nasab dari hasil perbuatan zina. Meskipun syariat menekankan pentingnya pengukuhan nasab, tetapi khusus dalam kasus zina, hal itu harus ditutupi. Menutupi aib dari zina penting dilakukan agar tatanan sosial masyarakat Muslim tetap terjaga dan tindakan keji tersebut tidak menjalar dan menjadi hal biasa di tengah-tengah mereka.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam pernah mengomentari sikap sahabat yang menolak pengakuan berzina dari Ma’iz bin Malik. “Tidakkah engkau tutupi dengan ujung pakaianmu,” sabda Rasulullah. Tetapi, dalam kasus tertentu DNA bisa digunakan seperti sebagai bukti atas tuduhan berzina yang ditujukan seseorang.

Dalam pandangan Mufti Dar al- Ifta, Mesir, Syeh Ali Jum’ah, sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam kajian fikih Islam, nasab seorang anak apa pun kondisinya, akan tetap kembali ke ibu. Hal ini sesuai dengan ayat:

7 Jenis Pernikahan Hukumnya Haram, Umat Islam Wajib Tahu!

7 Jenis Pernikahan Hukumnya Haram, Umat Islam Wajib Tahu!



loading…

Ternyata ada jenis-jenis pernikahan yang wajib dibatalkan karena hukumnya haram dan telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, salah satunya pernikahan mutah. Foto ilustrasi/ist

Ternyata ada jenis-jenis pernikahan yang wajib dibatalkan karena hukumnya haram dan telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Dalam buku fiqih berjudul Minhajul Muslim karya Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, disebutkan Di antara pernikahan- pernikahan yang tidak sah yang dilarang Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagai berikut :

1. Pernikahan mut’ah

Yaitu pernikahan sampai batas waktu tertentu, baik sebentar ataupun lama. Contoh : Seorang laki-laki menikahi wanita untuk jangka waktu tertentu, misalnya sebulan atau setahun. Dalam hadis dari Ali bin Abi Thalib dikatakan bahwa Rasulullah Shallalhu ‘Alaihi wa sallam menyatakan dengan tegas larangan seorang laki-laki menikahi wanita secara mut’ah dan juga melarang memakan keledai liar. Hadis ini disampaikan ketika terjadi perang Khaibar.

Sehingga pernikahan mut’ah tidak sah. Jadi wajib dibatalkan kapan saja terjadi, mahar tetap harus dibayarkan jika laki-laki tersebut telah menggauli wanitanya namun tidak wajib menyerahkan mahar jika belum terjadi hubungan badan suami istri.

2. Pernikahan syighar

Yaitu si A menikahkan putrinya dengan si B dengan syarat si B menikahkan putrinya dengannya, baik disebutkan maharnya atau tidak disebutkan. Dalil hadisnya adalah :

(1) Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : Tidak ada syighar dalam Islam. (HR. Muslim)
(2) Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah melarang syighar. Syighar itulah seorang berkata nikahkan aku dengan putrimu niscaya aku akan menikahkanmu dengan putriku. Atau berkata nikahkan aku dengan saudara perempuanmu niscaya aku akan menikahkanmu dengan saudara perempuanku. (HR. Muslim).
(3) Abdullah bin Umar Radhiyallahu’anhuma berkata, sesungguhnya Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam melarang syighar. Syighar adalah seorang ayah menikahkan putrinya dengan seseorang dengan syarat orang tersebut menikahkan dirinya dengan putrinya tanpa mahar di antara keduanya. (Mutafaq Alaih).

Hukum pernikahan syighar adalah dibatalkan sebelum laki-laki mengauli wanitanya. Jika laki-laki tersebut telah menggaulinya maka pernikahannya tetap dibatalkan jia pernikahan tersebut tidak menggunakan mahar. Tetapi jika telah menggunakan mahar maka pernikahan lanjut dan tidak dibatalkan.

3. Pernikahan muhalil

Yakni pernikahan yang dimaksudkan untuk menghalalkan istri yang telah ditalak tiga. Jadi seorang istri yang telah ditalak tiga suaminya dan karena itulah suaminya dilarang rujuk kepadanya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُۥ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 230).

Pernikahan seperti itu harus dibatalkan dan wanita tersebut tidak halal bagi suami yang telah mentalaknya dengan talak tiga. Ulama fiqih yang mengharamkan dan membatalkan nikah muhallil (istri yang telah ditalak untuk menghalalkannya kembali dengannya) di antara mereka adalah Al Hasan, Ibrahim An-Nakha’i, Qatadah, Imam Malik, Al Laits, Ats-Tsauri, Ibnu Al Mubarak, dan Imam Syafii.

Baca juga: Begini Penjelasan Hukum Menyicil Mahar Nikah yang Wajib Diketahui

4. Pernikahan orang yang sedang ihram

Sabda Rasulullah menyebutkan, “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan dan dinikahkan.” (HR. Muslim). Artinya bahwa saat sedang ihram, pernikahan tersebut tidak sah dan batal. Dan jika orang tersebut tetap ingin melanjutkan pernikahannnya maka ia harus mengulangi akadnya setelah ia selesai melaksanakan haji atau umrah.

5. Pernikahan dalam masa iddah

Haram hukumnya wanita yang dalam masa iddah karena bercerai atau suaminya meninggal untuk menikah dengan laki-laki lain. Allah Ta’ala berfirman :