Praktisi Hukum Sarankan Polda Metro Gandeng POM TNI Ungkap Kematian Diplomat Arya Daru

Praktisi Hukum Sarankan Polda Metro Gandeng POM TNI Ungkap Kematian Diplomat Arya Daru



loading…

Praktisi hukum dan HAM Nicholay Aprilindo menyarankan penyidik Polda Metro Jaya menggandeng POM TNI dalam mengungkap kasus kematian Arya Daru Pangayunan. Foto/SindoNews

JAKARTA – Kematian Diplomat Muda Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Arya Daru Pangayunan atau ADP (39) masih meninggalkan misteri. Pernyataan Polda Metro Jaya terkait dengan penyebab kematian korban dinilai prematur.

Praktisi hukum dan HAM Nicholay Aprilindo menyarankan penyidik Polda Metro Jaya menggandeng POM TNI dalam mengungkap kasus ini. Nicholay menduga ada keterlibatan oknum tertentu.

“Ini feeling saya , bahwa ini ada keterlibatan oknum tertentu. Oleh karena itu, pihak penyidik Polda harus menggandeng pihak POM TNI, PM TNI harus menggandeng, harus bekerja sama untuk mengungkap ini. Harus menggandeng POM TNI, itu kata kuncinya,” katanya saat diwawancara SindoNews TV, dikutip Rabu (30/7/2025).

Baca juga: Dugaan Cinta Segitiga di Balik Kematian Diplomat Kemlu Arya Daru

Nicholay menyebut, kasus pembunuhan ini bukan kasus biasa tetap ada latar belakang tertentu. “Dari berbagai kabar selain masalah pekerjaan, ada masalah cinta segitiga yang melibatkan seorang istri dari seorang oknum tertentu, makanya ini harus didalami dulu jangan tiba-tiba dibilang mati bunuh diri. Dicek dulu HP istrinya, dicek dulu alur transaksi, dicek dulu record dari HP yang bersangkutan dan isterinya,” ucapnya.

Nicholay juga menganalisis terduga pelaku dalam kematian ADP tak ingin meninggalkan jejak dengan menggunakan sarung tangan. Tujuannya agar sidik jari tidak tergambar. “Kemudian, si terduga pelaku membekap korban ADP. Lalu, melakban wajah ADP,” ucapnya.

Baca juga: Heroik! Prajurit Kopassus Serda Edi Sutono Selamatkan Nyawa Prajurit Filipina di Udara

Pakar Hukum Kriminalisasi Tom Lembong Tanda Penegakan Hukum Alami Kemerosotan

Pakar Hukum Kriminalisasi Tom Lembong Tanda Penegakan Hukum Alami Kemerosotan


Pakar Hukum: Kriminalisasi Tom Lembong Tanda Penegakan Hukum Alami Kemerosotan
Mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong(MI/Usman Iskandar)

PAKAR Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), M. Endriyo Susila mengatakan penegakan hukum di Indonesia khususnya pemberantasan korupsi, sedang mengalami kemerosotan.

Ia menyebut institusi penegak hukum seolah mengalami pembusukan dari dalam karena sistem hukum sering diperalat oleh aktor politik serta menjadi komoditas bagi oknum penegak hukum.

“Jika kondisi seperti ini terus berlangsung, penegakan hukum terhadap figur publik atau pejabat publik bukan hanya tidak efektif, tapi bisa juga salah sasaran,” kata Endriyo dalam keterangannya pada Minggu (27/7).

Endriyo juga menyoroti implikasi putusan vonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta terhadap mantan Menteri Perdagangan Republik Indonesia (Mendag RI) 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong, atau yang akrab disapa Tom Lembong, dalam kasus korupsi impor gula. 

Secara pribadi, ia pun menyatakan tidak setuju dengan putusan tersebut. Menurutnya, putusan tersebut telah mengoyak rasa keadilan publik sebab Tom dijerat hukuman meski tidak menikmati uang hasil korupsi.

“Putusan pemidanaan terhadap Tom Lembong ini sangat mengejutkan. Meminjam istilah dari dunia kedokteran, prognosis kasus ini seharusnya berujung pada putusan bebas murni (vrijspraak), namun kenyataannya ketokan palu hakim justru untuk mengesahkan hukuman 4,5 tahun penjara untuk Tom,” imbuhnya. 

Endriyo menjelaskan bahwa kasus ini bisa terus bergulir melalui berbagai upaya hukum salah satunya banding. Namun, jika putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), karir Tom Lembong hanya akan terhenti sementara. 

“Statusnya sebagai mantan napi itu tidak akan terlalu menjadi kendala karena publik lebih melihat status mantan napi itu bukan karena kejahatan yang dilakukan Tom pada masa lalu, tetapi lebih sebagai hasil kriminalisasi,” ucapnya.

Menurut Endriyo, putusan semacam ini semakin menguatkan dugaan masyarakat bahwa hukum bisa dibeli. Selain itu, peluang banding menurutnya akan tergantung pada mindset majelis hakim yang memeriksa perkara di tingkat banding.

“Jika cara memahami kasusnya sama seperti majelis hakim pada pemeriksaan tingkat pertama, hasilnya lebih kurang sama. Namun jika majelis hakim tingkat banding melihat dengan cara yang berbeda, hasil akhirnya bisa berbeda,” pungkasnya. (Dev/M-3)