Jamas bukan pembunuh, tapi gerakan politik yang sah. Foto/Press TV
GAZA – Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki, menekankan bahwa Hamas harus diakui sebagai gerakan politik yang sah, bukan sebagai kelompok pembunuh. Ia mencatat bahwa Hamas memainkan peran administratif dan pelayanan yang signifikan di Jalur Gaza, menegaskan bahwa organisasi tersebut berkuasa setelah memenangkan apa yang ia gambarkan sebagai pemilu paling demokratis di wilayah tersebut, tidak hanya di Palestina.
Albanese menunjukkan bahwa banyak individu mengulang narasi arus utama tentang Hamas tanpa pemahaman yang benar tentang perannya. Ia menyoroti bahwa gerakan tersebut telah mendirikan sekolah, lembaga publik, dan rumah sakit, memposisikan dirinya sebagai otoritas de facto di Gaza.
Menolak penggambaran Hamas hanya sebagai kelompok militan, Albanese menyatakan, “Hamas bukanlah sekelompok pembunuh atau pejuang bersenjata berat, seperti yang sering digambarkan dalam berbagai narasi.”
Baca Juga: Siapkan Perang Jangka Panjang dengan Israel, Houthi Siagakan Persenjataan Canggih di Laut Merah
Pelapor PBB tersebut sebelumnya juga menuduh lebih dari 60 perusahaan internasional, termasuk perusahaan senjata dan teknologi terkemuka, memfasilitasi operasi militer Israel di Gaza dan mendukung permukiman di Tepi Barat.
Melansir Middle East Monitor, Albanese mencirikan situasi yang sedang berlangsung di Gaza sebagai “kampanye genosida,” yang terutama didorong oleh motif keuntungan. Ia mendesak perusahaan-perusahaan untuk menghentikan hubungan bisnis mereka dengan Israel dan menuntut pertanggungjawaban para CEO mereka di bawah hukum humaniter internasional.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyanhu.(AFP/OHAD ZWIGENBERG)
PERDANA Menteri Israel Benjamin Netanyahu memaparkan rencana militernya untuk menuntaskan perang di Jalur Gaza, di tengah meningkatnya kritik dari dalam negeri maupun komunitas internasional.
Rencana Netanyahu tersebut mencakup langkah memperluas operasi militer ke dua wilayah terakhir yang disebut sebagai benteng Hamas.
Dalam konferensi pers di Jerusalem, Netanyahu mengatakan militer Israel telah mendapat perintah untuk menghancurkan dua wilayah yang dianggap masih dikuasai Hamas, yakni Kota Gaza di bagian utara dan Al Mawasi di selatan.
Baca juga : Netanyahu Ingin Kuasai Seluruh Gaza, Picu Kekhawatiran Global dan Perpecahan Internal
“Kami memiliki sekitar 70% hingga 75% wilayah Gaza di bawah kendali Israel, kendali militer. Tapi kami masih memiliki dua benteng yang tersisa, itu adalah Kota Gaza dan kamp-kamp pusat di Al Mawasi,” kata Netanyahu seperti dikutip AFP, Selasa (12/8).
Dia menyebut bahwa kabinet keamanan Israel telah menginstruksikan IDF untuk menghancurkan dua benteng Hamas yang tersisa di Kota Gaza dan kamp-kamp pusat.
“Langkah ini merupakan cara terbaik untuk mengakhiri konflik secara cepat,” sebutnya.
Baca juga : Israel Siapkan Rencana Baru untuk Penaklukkan Total Gaza
Netanyahu menambahkan, operasi tersebut direncanakan berlangsung dalam waktu singkat, meski dia enggan memberikan jadwal pasti.
“Saya tidak ingin membahas jadwal pastinya, tetapi kita berbicara dalam jangka waktu yang cukup singkat karena kita ingin mengakhiri perang,” tambahnya.
Menanggapi kritik dari sejumlah negara, termasuk Jerman yang berencana menangguhkan pengiriman senjata, Netanyahu menegaskan Israel siap melanjutkan operasi meski tanpa dukungan penuh sekutu.
“Israel siap untuk melakukannya sendiri, jika diperlukan,” pungkasnya. (Z-1)
SEJUMLAH negara Arab termasuk Qatar, Arab Saudi, dan Mesir bergabung menyerukan agar Hamas menyerahkan senjata dan mengakhiri kekuasaannya di Jalur Gaza. Seruan ini disampaikan dalam upaya mengakhiri perang yang menghancurkan wilayah tersebut dan menghidupkan kembali solusi dua negara bagi Israel dan Palestina.
Deklarasi tersebut merupakan bagian dari dokumen tujuh halaman yang disepakati dalam konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York. Deklarasi itu difokuskan pada penghidupan kembali solusi dua negara. Sebanyak 17 negara bersama Uni Eropa dan Liga Arab mendukung pernyataan tersebut.
“Dalam konteks penghentian perang di Gaza, Hamas harus mengakhiri pemerintahannya dan menyerahkan senjata kepada Otoritas Palestina, dengan dukungan dan keterlibatan internasional, sesuai tujuan pembentukan negara Palestina yang berdaulat dan merdeka,” demikian bunyi pernyataan tersebut.
Baca juga : Rincian Perjanjian Gencatan Senjata Israel-Hamas Selama Enam Minggu
Seruan ini muncul sehari setelah delegasi Palestina di PBB meminta agar baik Israel maupun Hamas meninggalkan Gaza. Selain itu, menyerahkan pengelolaan wilayah itu kepada Otoritas Palestina.
Prancis yang menjadi tuan rumah konferensi bersama Arab Saudi menyebut deklarasi ini sebagai “bersejarah dan belum pernah terjadi sebelumnya.”
“Untuk pertama kalinya, negara-negara Arab dan Timur Tengah mengecam Hamas, mengecam serangan 7 Oktober, menyerukan perlucutan senjata Hamas, menolak keikutsertaannya dalam pemerintahan Palestina, serta menyatakan niat untuk menormalisasi hubungan dengan Israel di masa depan,” ujar Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot.
Baca juga : Gencatan Senjata masih Buntu ketika Blinken Tinggalkan Timur Tengah
Deklarasi itu juga ditandatangani negara-negara Barat seperti Prancis, Inggris, dan Kanada. Deklarasi itu membuka opsi pengiriman pasukan asing untuk menstabilkan Gaza setelah konflik berakhir.
Namun, baik Israel maupun sekutunya, Amerika Serikat, tidak menghadiri pertemuan tersebut.
Rencana Pengakuan Negara Palestina
Dokumen ini dirilis pada hari kedua konferensi di New York, di mana Inggris mengumumkan kemungkinan mengakui negara Palestina pada September. Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, menyatakan pengakuan tersebut akan diberikan jika Israel gagal memenuhi beberapa syarat, termasuk gencatan senjata dan akses bantuan kemanusiaan yang memadai ke Gaza.
Sebelumnya, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan akan secara resmi mengumumkan pengakuan negara Palestina pada Sidang Umum PBB, September mendatang.
Perang Masih Berlanjut
Meskipun sebagian besar negara anggota PBB selama beberapa dekade telah mendukung solusi dua negara, kenyataan di lapangan membuat skenario tersebut kian sulit terwujud. Perang di Gaza yang telah berlangsung lebih dari 21 bulan, perluasan permukiman Israel di Tepi Barat, serta pernyataan para pejabat Israel soal aneksasi wilayah pendudukan, memunculkan kekhawatiran bahwa negara Palestina secara geografis mungkin tak lagi memungkinkan untuk dibentuk.
Konflik Gaza saat ini dipicu serangan Hamas ke Israel pada Oktober 2023, yang kemudian dibalas dengan operasi militer besar-besaran oleh Israel. Aksi balasan itu menewaskan puluhan ribu warga Palestina dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur Gaza.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres dalam pertemuan pada Senin mengatakan “solusi dua negara kini tampak lebih jauh dari sebelumnya.”
Dalam pernyataan terpisah, sebanyak 15 negara Barat termasuk Prancis dan Spanyol menegaskan dukungan penuh terhadap visi solusi dua negara. Dari jumlah tersebut, sembilan negara yang belum mengakui Palestina menyatakan “kesediaan atau pertimbangan positif” untuk melakukan pengakuan, yakni: Andorra, Australia, Kanada, Finlandia, Luksemburg, Malta, Selandia Baru, Portugal, dan San Marino. (AFP/Z-2)
...
►
Necessary cookies enable essential site features like secure log-ins and consent preference adjustments. They do not store personal data.
None
►
Functional cookies support features like content sharing on social media, collecting feedback, and enabling third-party tools.
None
►
Analytical cookies track visitor interactions, providing insights on metrics like visitor count, bounce rate, and traffic sources.
None
►
Advertisement cookies deliver personalized ads based on your previous visits and analyze the effectiveness of ad campaigns.
None
►
Unclassified cookies are cookies that we are in the process of classifying, together with the providers of individual cookies.