Siapa Putri Reema? Cucu Mendiang Raja Faisal Saudi yang Menyatakan Solusi 2 Negara untuk Akhiri Perang Gaza

Siapa Putri Reema? Cucu Mendiang Raja Faisal Saudi yang Menyatakan Solusi 2 Negara untuk Akhiri Perang Gaza



loading…

Putri Reema menyerukan solusi dua negara untuk akhiri perang Gaza. Foto/IG/Arab News

RIYADH – Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat, Putri Reema binti Bandar, mengatakan bahwa solusi dua negara yang mengakui Palestina dan Israel adalah “satu-satunya kerangka kerja yang dapat mengakhiri pertumpahan darah, membangun kembali Gaza, dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan.” Itu sebagai penegasan sikap Kerajaan Arab Saudi.

Pernyataannya muncul bersamaan dengan konferensi internasional tingkat tinggi di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, yang diketuai bersama oleh Arab Saudi dan Prancis, yang berupaya memetakan jalan menuju kenegaraan Palestina.

Ia menekankan bahwa “Kerajaan Arab Saudi telah lama memperjuangkan solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan yang layak menuju perdamaian abadi, yang menjamin martabat dan hak menentukan nasib sendiri bagi Palestina sekaligus membangun fondasi keamanan dan stabilitas bagi Israel dan kawasan.”

Ia menekankan bahwa “Ini bukan sekadar posisi diplomatik; ini adalah kebutuhan moral, strategis, dan praktis yang didasarkan pada keadilan dan upaya mencapai masa depan bersama.”

Putri Reema menambahkan bahwa komitmen Arab Saudi terhadap perdamaian tertanam dalam visi nasionalnya: “Upaya kita untuk mencapai perdamaian dan keamanan bagi kawasan ini merupakan bagian dari sejarah kita dan merupakan inti dari tujuan modernisasi dan pertumbuhan dalam Visi 2030.”

Siapa Putri Reema? Cucu Mendiang Raja Faisal Saudi yang Menyatakan Solusi 2 Negarauntuk Akhiri Perang Gaza

1. Akan Menormalisasi Hubungan dengan Israel jika Palestina Jadi Negara Merdeka

Merujuk pada Inisiatif Perdamaian Arab 2002, ia mengatakan, “Kerajaan Arab Saudi telah memperjuangkan resolusi damai selama beberapa dekade… berdasarkan keyakinan bahwa perdamaian di kawasan ini tidak dapat dipisahkan dari keadilan bagi Palestina.”

Solusi dua negara akan menawarkan Israel kesempatan untuk normalisasi dengan negara-negara Arab dengan imbalan pembentukan negara Palestina, kata duta besar tersebut.

“Visi ini… menawarkan normalisasi penuh bagi Israel dengan dunia Arab sebagai imbalan atas status kenegaraan Palestina. Solusi dua negara sangat penting karena mengatasi akar penyebab konflik: pengingkaran terhadap hak penentuan nasib sendiri Palestina dan ketidakamanan yang memicu ekstremisme di kedua belah pihak,” kata Putri Reema, dilansir Al Arabiya.

Negara-Negara Arab Desak Hamas Serahkan Senjata dan Akhiri Kekuasaan di Gaza

Negara-Negara Arab Desak Hamas Serahkan Senjata dan Akhiri Kekuasaan di Gaza


Negara-Negara Arab Desak Hamas Serahkan Senjata dan Akhiri Kekuasaan di Gaza
Gaza(AFP)

SEJUMLAH negara Arab termasuk Qatar, Arab Saudi, dan Mesir  bergabung menyerukan agar Hamas menyerahkan senjata dan mengakhiri kekuasaannya di Jalur Gaza. Seruan ini disampaikan dalam upaya mengakhiri perang yang menghancurkan wilayah tersebut dan menghidupkan kembali solusi dua negara bagi Israel dan Palestina.

Deklarasi tersebut merupakan bagian dari dokumen tujuh halaman yang disepakati dalam konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York. Deklarasi itu difokuskan pada penghidupan kembali solusi dua negara. Sebanyak 17 negara bersama Uni Eropa dan Liga Arab mendukung pernyataan tersebut.

“Dalam konteks penghentian perang di Gaza, Hamas harus mengakhiri pemerintahannya dan menyerahkan senjata kepada Otoritas Palestina, dengan dukungan dan keterlibatan internasional, sesuai tujuan pembentukan negara Palestina yang berdaulat dan merdeka,” demikian bunyi pernyataan tersebut.

Seruan ini muncul sehari setelah delegasi Palestina di PBB meminta agar baik Israel maupun Hamas meninggalkan Gaza. Selain itu, menyerahkan pengelolaan wilayah itu kepada Otoritas Palestina.

Prancis yang menjadi tuan rumah konferensi bersama Arab Saudi menyebut deklarasi ini sebagai “bersejarah dan belum pernah terjadi sebelumnya.”

“Untuk pertama kalinya, negara-negara Arab dan Timur Tengah mengecam Hamas, mengecam serangan 7 Oktober, menyerukan perlucutan senjata Hamas, menolak keikutsertaannya dalam pemerintahan Palestina, serta menyatakan niat untuk menormalisasi hubungan dengan Israel di masa depan,” ujar Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noel Barrot.

Deklarasi itu juga ditandatangani negara-negara Barat seperti Prancis, Inggris, dan Kanada. Deklarasi itu membuka opsi pengiriman pasukan asing untuk menstabilkan Gaza setelah konflik berakhir.

Namun, baik Israel maupun sekutunya, Amerika Serikat, tidak menghadiri pertemuan tersebut.

Rencana Pengakuan Negara Palestina

Dokumen ini dirilis pada hari kedua konferensi di New York, di mana Inggris mengumumkan kemungkinan mengakui negara Palestina pada  September. Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, menyatakan pengakuan tersebut akan diberikan jika Israel gagal memenuhi beberapa syarat, termasuk gencatan senjata dan akses bantuan kemanusiaan yang memadai ke Gaza.

Sebelumnya, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan akan secara resmi mengumumkan pengakuan negara Palestina pada Sidang Umum PBB, September mendatang.

Perang Masih Berlanjut

Meskipun sebagian besar negara anggota PBB selama beberapa dekade telah mendukung solusi dua negara, kenyataan di lapangan membuat skenario tersebut kian sulit terwujud. Perang di Gaza yang telah berlangsung lebih dari 21 bulan, perluasan permukiman Israel di Tepi Barat, serta pernyataan para pejabat Israel soal aneksasi wilayah pendudukan, memunculkan kekhawatiran bahwa negara Palestina secara geografis mungkin tak lagi memungkinkan untuk dibentuk.

Konflik Gaza saat ini dipicu serangan Hamas ke Israel pada Oktober 2023, yang kemudian dibalas dengan operasi militer besar-besaran oleh Israel. Aksi balasan itu menewaskan puluhan ribu warga Palestina dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur Gaza.

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres dalam pertemuan pada Senin mengatakan “solusi dua negara kini tampak lebih jauh dari sebelumnya.”

Dalam pernyataan terpisah, sebanyak 15 negara Barat termasuk Prancis dan Spanyol menegaskan dukungan penuh terhadap visi solusi dua negara. Dari jumlah tersebut, sembilan negara yang belum mengakui Palestina menyatakan “kesediaan atau pertimbangan positif” untuk melakukan pengakuan, yakni: Andorra, Australia, Kanada, Finlandia, Luksemburg, Malta, Selandia Baru, Portugal, dan San Marino. (AFP/Z-2)

Houthi Mungkin Memasukkan Awak Kapal Eternity C dalam Kesepakatan Gaza

Houthi Mungkin Memasukkan Awak Kapal Eternity C dalam Kesepakatan Gaza



loading…

Houthi menenggelamkan kapal Eternity C di Laut Merah. Foto/port technology

SANAA – Awak kapal Yunani Eternity C yang ditenggelamkan Ansar Allah (Houthi), kemungkinan akan dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata Gaza antara Hamas dan Israel. Pernyataan itu diungkap pejabat Houthi, Muhammad al-Buheiti, kepada Sputnik.

Pengecualian mungkin akan diberikan untuk pelaut Rusia yang ditahan. “Kami selalu mengaitkan nasib kapal dan awaknya di masa mendatang dengan negosiasi antara Hamas dan Israel. Secara umum, seperti yang Anda ingat, skenario yang sama terjadi dengan awak Galaxy Leader,” ujar al-Bukhaiti.

Ia juga mencatat “pengecualian dan perjanjian dengan pihak ketiga” dimungkinkan, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan komando militer.

“Operasi militer kami difokuskan untuk menekan Israel, dan hasilnya juga harus tercermin dalam negosiasi antara Palestina dan Israel mengenai gencatan senjata di Gaza. Di saat yang sama, saya mengizinkan beberapa pengecualian dan perjanjian pihak ketiga, tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan pimpinan militer,” ujar al-Bukhaiti ketika ditanya tentang kemungkinan pembebasan pelaut Rusia Alexei Galaktionov.

Pada 17 Juli, seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri Yaman yang dipimpin Houthi mengatakan kepada Sputnik bahwa seorang pelaut Rusia telah diselamatkan dari kapal Eternity C yang tenggelam dan sedang menjalani perawatan medis.

Houthi merilis satu video pada hari Senin yang diduga menunjukkan pelaut Rusia Alexei Galaktionov, yang diselamatkan dari kapal kargo tersebut setelah kapal itu tenggelam di Laut Merah.

Baca juga: Rudal Hipersonik Houthi Serang Target Sensitif di Israel

(sya)

Trump Kelaparan Nyata Terjadi di Gaza, Bertentangan dengan Pernyataan Netanyahu

Trump Kelaparan Nyata Terjadi di Gaza, Bertentangan dengan Pernyataan Netanyahu


Trump:
Ilustrasi Gaza(AFP)

PRESIDEN Amerika Serikat, Donald Trump, menyatakan telah terjadi “kelaparan nyata” di Gaza. Pernyataan itu bertentangan dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang bersikeras tuduhan tersebut tidak berdasar.

Pernyataan Trump muncul saat ia bertemu dengan Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, di Skotlandia. Ketika ditanya apakah ia sependapat dengan Netanyahu bahwa menyebut Israel menyebabkan kelaparan di Gaza adalah “kebohongan terang-terangan”, Trump menjawab, “Saya tidak tahu… anak-anak itu terlihat sangat kelaparan… itu benar-benar tanda-tanda kelaparan nyata.”

Komentar Trump muncul di tengah peringatan dari pejabat kemanusiaan PBB, jumlah bantuan yang masuk ke Gaza masih jauh dari cukup untuk mencegah bencana kelaparan. Kepala Kemanusiaan PBB, Tom Fletcher, mengatakan meskipun Israel telah membuka akses bantuan melalui pengiriman udara dan jeda militer sementara, bantuan yang masuk “baru setetes di lautan.”

Menurut Fletcher, diperlukan peningkatan besar dalam skala distribusi bantuan. “Beberapa hari ke depan sangat menentukan. Kita perlu bantuan dalam jumlah besar, dan lebih cepat,” ujarnya kepada BBC.

Israel Lakukan “Jeda Taktis” dan Buka Jalur Aman

Militer Israel mengklaim telah memulai langkah-langkah untuk meningkatkan respons kemanusiaan dan membantah tudingan bahwa mereka sengaja menyebabkan kelaparan. Pada Minggu (27/7), Israel menerapkan “jeda taktis lokal” selama 10 jam per hari di tiga wilayah Gaza dan membuka “jalur aman” untuk konvoi bantuan.

Israel juga mengizinkan kembali pengiriman bantuan melalui udara oleh negara-negara asing. Meski sejumlah lembaga kemanusiaan menilai metode ini berisiko tinggi dan kurang efektif.

Menurut badan militer Israel, COGAT, lebih dari 120 truk bantuan telah diambil dari titik penyeberangan pada Minggu. Namun, PBB menyebut hanya kurang dari 100 truk yang berhasil mereka distribusikan karena kendala keamanan dan birokrasi. Fletcher juga menyebut banyak truk bantuan yang dijarah warga sipil yang kelaparan, menyebabkan risiko tinggi bagi para pengemudi.

Angka Kematian Akibat Malnutrisi Terus Bertambah

Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas melaporkan 14 orang, termasuk anak-anak, kembali meninggal akibat malnutrisi dalam 24 jam terakhir. Sejak perang pecah pada Oktober 2023, total korban jiwa akibat kelaparan telah mencapai 147 orang, termasuk 88 anak.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memperingatkan malnutrisi di Gaza berada dalam “trajektori berbahaya”, dengan lonjakan kematian selama bulan Juli. WHO menyebut mayoritas korban meninggal saat tiba di fasilitas kesehatan atau tak lama setelahnya, dengan kondisi tubuh menunjukkan gejala kekurangan gizi akut.

WHO menegaskan krisis ini seharusnya bisa dicegah dan mengecam “blokade serta keterlambatan sengaja” terhadap masuknya bantuan makanan, kesehatan, dan kemanusiaan berskala besar.

Netanyahu Membantah

Netanyahu menepis tuduhan Israel sengaja menyebabkan kelaparan, menyebutnya sebagai “kebohongan terang-terangan”. Ia menegaskan Israel mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza sepanjang perang.

“Jika tidak ada bantuan, tidak akan ada lagi warga Gaza. Yang menghambat suplai bantuan kemanusiaan adalah Hamas,” ujarnya.

Ia juga menuduh Hamas memanfaatkan situasi untuk membangun narasi krisis kemanusiaan melalui penyebaran data yang tidak diverifikasi dan gambar yang diduga dimanipulasi. Pemerintah Israel pun tidak mengizinkan media internasional, termasuk BBC, untuk meliput langsung kondisi di dalam Gaza. (BBC/Z-2)

 

Kelaparan dan Malanutrisi Meluas di Gaza, Dokter Israel Sasar Anak-Anak

Kelaparan dan Malanutrisi Meluas di Gaza, Dokter Israel Sasar Anak-Anak


Kelaparan dan Malanutrisi Meluas di Gaza, Dokter: Israel Sasar Anak-Anak
Demonstrasi membela Gaza.(Al Jazeera)

KONDISI kelaparan di Jalur Gaza kini mencapai titik kritis dan mengancam nyawa lebih dari dua juta penduduk Palestina. Para pekerja kemanusiaan dan tenaga medis di lapangan melaporkan lonjakan tajam dalam jumlah kematian akibat kelaparan tidak hanya di kalangan anak-anak sebagai kelompok paling rentan tetapi juga orang dewasa.

Sejak Maret 2025, blokade yang diberlakukan Israel semakin memperburuk krisis kemanusiaan. Program Pangan Dunia (WFP) menyebutkan hampir 100.000 perempuan dan anak-anak membutuhkan penanganan gizi secara mendesak.

Selain itu, hampir sepertiga penduduk Gaza dilaporkan tidak makan selama berhari-hari. Di sisi lain, fasilitas medis kehabisan obat-obatan penting dan perlengkapan pengobatan utama.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat peningkatan drastis kasus malanutrisi dan penyakit dengan sebagian besar penduduk Gaza kini berada dalam kondisi kelaparan akut.

Sementara itu, lembaga Medecins Sans Frontieres (MSF) melaporkan seperempat kalangan anak-anak dan perempuan hamil atau menyusui yang diperiksa di klinik mereka di Gaza pekan lalu mengalami kekurangan gizi. MSF menuding Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang secara sengaja.

Dengan jumlah anak yang mencapai sekitar separuh dari total penduduk, Gaza kini menghadapi ancaman serius terhadap generasi masa depan. Para dokter memperingatkan malanutrisi kronis tengah menghancurkan kesehatan anak-anak secara permanen di seluruh wilayah tersebut.

“Perang ini menargetkan satu generasi yaitu generasi anak-anak di bawah usia tiga tahun, karena sistem saraf pusat berkembang hampir sepenuhnya pada usia dua hingga tiga tahun,” kata Dr Ahmed Al-Farrah, kepala bagian anak di Rumah Sakit Nasser seperti dikutip NPR.

PBB sendiri telah memperingatkan wilayah Gaza sedang menuju kelaparan massal seiring pembatasan ketat terhadap distribusi makanan dan bantuan kemanusiaan oleh Israel.

Menghadapi tekanan internasional yang semakin besar, militer Israel sejak Minggu mulai memberlakukan jeda harian selama 10 jam di beberapa wilayah berpenduduk padat untuk memungkinkan pengiriman makanan dan bantuan.

Selama jeda ini, Israel menyatakan akan menghentikan operasi militer di Gaza City, Deir al-Balah, dan Al-Mawasi. Israel juga menyebut telah menyiapkan jalur aman bagi truk-truk bantuan PBB untuk menyalurkan makanan dan obat-obatan ke berbagai titik di Gaza.

Namun di tengah langkah itu, pemerintah Israel menghadapi tekanan dari partai-partai sayap kanan dalam negeri untuk mengendalikan distribusi bantuan pangan. (I-2)

Lebih dari 1.000 Imam Yahudi Tuduh Israel Jadikan Kelaparan Gaza sebagai Senjata

Lebih dari 1.000 Imam Yahudi Tuduh Israel Jadikan Kelaparan Gaza sebagai Senjata



loading…

Lebih dari 1.000 rabi atau imam Yahudi tuduh Israel jadikan kelaparan sebagai senjata di Gaza. Foto/Ahmed Jihad Ibrahim Al-Arini/Anadolu

GAZA – Lebih dari 1.000 rabi atau imam Yahudi dari berbagai negara menuduh Israel menjadikan kelaparan di Gaza sebagai senjata dalam perangnya melawan Hamas. Mereka mendesak rezim Zionis untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke wilayah kantong Palestina tersebut.

Menurut kepala badan pengungsi Palestina PBB, Philippe Lazzarini, sekitar 90.000 perempuan dan anak-anak di Gaza menderita malnutrisi dalam apa yang digambarkan oleh kelompok-kelompok bantuan sebagai kelaparan buatan manusia yang disebabkan oleh blokade Israel.

Para rabi dan cendekiawan Yahudi dari Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa, dan Israel menandatangani surat terbuka yang menyatakan bahwa orang-orang Yahudi “menghadapi krisis moral yang serius.”

Baca Juga: Heboh, 52 Penumpang Yahudi Diusir dari Penerbangan Vueling karena Berbuat Onar

“Pembatasan ketat yang diberlakukan pada bantuan kemanusiaan di Gaza, dan kebijakan menahan makanan, air, dan pasokan medis dari penduduk sipil yang membutuhkan, bertentangan dengan nilai-nilai hakiki Yudaisme sebagaimana kita pahami,” demikian bunyi surat tersebut.