PT Vale Tetap Perkasa di Tengah Badai Krisis Ekspor Nikel Sulsel Berkat 3 EBT

PT Vale Tetap Perkasa di Tengah Badai Krisis Ekspor Nikel Sulsel Berkat 3 EBT


PT Vale Tetap Perkasa di Tengah Badai Krisis Ekspor Nikel Sulsel Berkat 3 EBT
Ilustrasi(MI/Lina Herlina )

INDUSTRI nikel Sulawesi Selatan tengah menghadapi tekanan berat akibat penurunan ekspor hingga 20,94%. Namun, di tengah kondisi yang menantang ini, PT Vale Indonesia Tbk justru menunjukkan ketahanan luar biasa dengan terus meningkatkan produksi selama tiga tahun berturut-turut.

Ketika Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Sulsel periode Januari-Mei 2025 anjlok menjadi US$636,65 juta, dan khusus ekspor nikel menyusut US$56,07 juta (13,97%), PT Vale Indonesia justru mencatatkan tren positif yang mengagumkan.

“PT Vale dalam tiga tahun terakhir justru produksinya meningkat dari tahun ke tahun. Walaupun tidak terlalu signifikan ya, tapi meningkat dari tahun ke tahun,” ungkap Wakil Presiden Direktur dan Chief Operation and Infrastructure Officer PT Vale, Abu Ashar, beberapa waktu lalu di Sorowako, Luwu Timur.

Produksi nikel PT Vale tiga tahun terakhir dalam bentuk matte pada 2022 sebanyak, 60.090 ton, 2022 naik jadi 70.728 ton, dan 2024 naik lagi sebanyak 71.311 ton.

Lalu, yang membuat bagian perusahaan tambang anggota MIND ID ini berbeda dari kompetitor lainnya adalah kepemilikan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebagai energi baru terbarukan (EBT).

Perusahaan yang berbasis di Sorowako, Luwu Timur, Sulsel ini, punya tiga PLTA, yaitu PLTA Larona, dengan kapasitas 165 MW (Megawatt) beroperasi sejak tahun 1979.

PLTA Balambano berkapasitas 110 MW yang beroperasi sejak tahun 1999 dan PLTA Karebbe berkapasitas 90 MW, beroperasi sejak tahun 2011. Keunggulan ini menjadi fondasi kuat perusahaan untuk bertahan di tengah gejolak harga nikel global.

“PT Vale mempunyai PLTA yang merupakan energi baru terbarukan yang belum tentu perusahaan lain memiliki itu. Ini keunggulan pertama PT Vale bahwa kami punya smelter, kami punya energi baru terbarukan dari PLTA yang bisa kami optimalkan dengan baik,” jelas Abu Ashar.

Berkat efisiensi energi dari PLTA tersebut, meskipun harga nikel melemah akibat oversupply global dan perlambatan ekonomi Tiongkok, PT Vale mampu melakukan efisiensi operasional yang memungkinkan perusahaan tetap untung.

Sementara banyak smelter di Sulsel terpaksa menghentikan operasi dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), PT Vale justru memberikan jaminan kepastian kerja bagi karyawannya.

“Walaupun harga nikel menurun, kami bisa lakukan efisiensi dengan baik untuk bisa tetap bertahan dan tidak ada rencana untuk PHK,” tegas Abu Ashar.

Kebijakan ini kontras dengan kondisi industri nikel secara umum yang mengalami tekanan margin keuntungan dan terpaksa merumahkan sebagian tenaga kerja. PT Vale juga memiliki keunggulan dalam hal kepastian pasar. Seluruh produksi nikel perusahaan disalurkan ke dua mitra strategis di Jepang dengan kontrak jangka panjang yang terjamin.

“Produksi kami kan dikirim ke Jepang. Ada dua, 20%-nya ke Sumitomo, Jepang. 80%-nya ke Vale Japan Limited. Demand selalu ada jangka panjang,” ungkap Abu Ashar.

Strategi ini memberikan kepastian permintaan yang tidak dimiliki oleh banyak produsen nikel lainnya yang bergantung pada fluktuasi pasar spot internasional.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Selatan, Rizki Ernadi Wimanda, mengakui bahwa gejolak ekonomi global masih berlanjut dan memberi dampak pada perlambatan ekonomi di banyak negara, termasuk Indonesia.

“Ekonomi global kini masih bergejolak. Dampaknya semua negara mengalami perlambatan, tidak terkecuali Sulsel,” ujar Rizki dalam diskusi Sulsel Talk di Kantor BI Perwakilan Sulsel, Selasa (12/8).

Salah satu sumber tekanan terbesar datang dari sektor pertambangan, khususnya nikel. Komoditas ini selama ini menjadi salah satu penopang utama ekspor Sulsel. Namun, harga dan permintaan nikel di pasar internasional tengah melemah.

Rizki menjelaskan, penurunan harga nikel dipicu oleh tiga faktor utama, yakni kondisi oversupply di pasar global, perlambatan ekonomi Tiongkok sebagai konsumen terbesar nikel, serta pergeseran teknologi baterai dari berbahan nikel ke litium.

“Data International Nickel Study Group (INSG) menunjukkan kondisi oversupply sudah berlangsung sejak 2021 hingga 2025. Permintaan stainless steel di Tiongkok melemah akibat perlambatan ekonomi, sementara permintaan baterai berbasis nikel juga mengalami penurunan,” kata Rizki.

Namun, PT Vale telah membuktikan bahwa dengan strategi yang tepat, efisiensi operasional, dan kemitraan strategis jangka panjang, sebuah perusahaan dapat tetap tumbuh bahkan di tengah kondisi industri yang sulit. Meski

Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan PDRB Sulsel hanya berada di kisaran 4,8-5,6% pada 2025, keberhasilan PT Vale menunjukkan bahwa dengan manajemen yang tepat dan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, industri nikel masih memiliki peluang untuk tumbuh.

Keberhasilan PT Vale ini menjadi contoh bagaimana inovasi dalam efisiensi energi dan kemitraan strategis dapat menjadi kunci bertahan dan berkembang di tengah tantangan global yang tidak mudah diprediksi. (LN/E-4)

Siap-Siap, Ekspor RI ke AS bakal Turun 5-10 Mulai Agustus Ini

Siap-Siap, Ekspor RI ke AS bakal Turun 5-10 Mulai Agustus Ini


Siap-Siap, Ekspor RI ke AS bakal Turun 5%-10% Mulai Agustus Ini
Ilustrasi: Pekerja mengoperasikan alat berat untuk mengangkut kontainer saat bongkar muat di Pelabuhan Ahmad Yani Ternate, Maluku Utara.(Antara/Andri Saputra)

CHIEF Economist Permata Bank Josua Pardede menyebut berlakunya tarif resiprokal AS sebesar 19% berpotensi menurunkan nilai ekspor Indonesia ke ‘Negeri Paman Sam’ sekitar 5%-10% secara tahunan (yoy). Ia juga melihat adanya potensi pelemahan pesanan baru dari konsumen di AS.

“Memang tidak bisa kita simulasikan secara pasti, tapi tentu akan ada potensi penurunan nilai ekspor ke US secara langsung, mungkin setidaknya bisa melambat 5%-10% (yoy),” ujarnya dalam media briefing daring, Senin (11/8).

Komoditas yang diprediksi paling terdampak antara lain tekstil pakaian (HS 61-62), karet (HS 40), kayu dan produk turunannya (HS 44), alas kaki (HS 64), dan juga produk elektronik (HS 85). Perlambatan ekspor Indonesia ke AS ini diprediksi mulai terjadi di kuartal ketiga tahun ini. 

Untuk itu, kata Josua, perlu ada intervensi kebijakan dari pemerintah. Misalnya pemberian insentif ataupun stimulus bagi sektor-sektor padat karya yang terekspos langsung pada pasar AS.

“Tentunya dampaknya bisa lebih rendah lagi, ataupun dampak negatifnya bisa diminimalkan,” jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, Head of Macroeconomics & Market Research Permata Bank Faisal Rachman menyebut secara umum sejauh ini nilai ekspor Indonesia ke AS sering double digit. Namun setelah implementasi tarif resiprokal, kemungkinan akan turun 3 sampai 5 poin persentase di semester kedua, terutama sekitar Agustus ini.

“Kita tahu bahwa AS itu tujuan ekspor kedua terbesar setelah Tiongkok. Satu sisi Tiongkok kemungkinan juga akan melemah sehingga tidak akan kuat juga permintaan dari sana. So overall kita lihat memang ada penurunan dari double digit itu sekitar 3 sampai 5 percentage point,” jelasnya. (Ifa/E-1)

Ekspor Produk Hilirisasi di IMIP Terus Meningkat

Ekspor Produk Hilirisasi di IMIP Terus Meningkat


Ekspor Produk Hilirisasi di IMIP Terus Meningkat
Produk-produk hilirisasi berupa aluminium, nikel, dan besi baja dari kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, Sulawesi Tengah, terus membanjiri pasar global. Produksi pabrik-pabrik yang berada di kawasan tersebut terus meningkat setia(MI/Heryadi)

PRODUK-PRODUK hilirisasi berupa aluminium, nikel, dan besi baja dari kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, Sulawesi Tengah, terus membanjiri pasar global. Produksi pabrik-pabrik yang berada di kawasan tersebut terus meningkat setiap tahun seiring dengan meningkatnya permintaan global.

Dalam kunjungan ke kawasan tersebut pada 20-23 Juli lalu, bertajuk Melihat dari Dekat Jantung Hilirisasi Industri Nikel Nasional, Media Indonesia menyaksikan ribuan ton produk hilirisasi yang siap diekspor ke berbagai negara. Begitu juga dengan proses produksi yang terus berlangsung.

Produk-roduk hilirisasi dari IMIP tersebut mencakup baja tahan karat seperti stainless steel dan ferrochrome, aluminium, baja karbon, serta bahan baku baterai kendaraan listrik.

Salah satu pabrik hilirisasi di IMIP adalah PT PT Hua Chin Aluminum Indonesia (HCAI). Perusahaan patungan dua perusahaan Tiongkok, Huafon Group Co., Ltd., dan Tsingshan Holding Group Co., Ltd. itu mampu memproduksi 3,7 juta ton aluminium per tahun. Jika dirupiahkan dengan asumsi harga aluminium Rp30 juta per ton, jumlahnya mencapai Rp3,33 triliun per tahun.

Wakil Manajer Umum Eksekutif PT HCAI Xiang Jin Yao mengatakan sebagian besar produksi dari pabrik HCAI adalah untuk ekspor.

“Kami mengekspor ke Eropa dan Asia. Untuk pasar Indonesia sendiri, masih sedikit jumlahnya. Kami juga terus meningkatkan produksi,” ujarnya.

Jin Yao mengatakan, jumlah karyawan yang dipekerjakan di HCAI mencapai 1.446 pekerja yang sebagian besar adalah warga Sulawesi Tengah.

Pabrik hilirisasi lainnya di kawasan IMIP adalah PT CNGR Dung Xing New Energi. Pabrik itu adalah perusahaan patungan antara CNGR Advanced Material Co., Ltd., dan Rigqueza International PTE., Ltd.

General Affair Manager PT CNGR Yusnita mengatakan CNGR merupakan produsen nikel pertama di Asia Tenggara yang memproduksi nikel dengan kadar hingga 80%. Produk nikel itu terutama digunakan untuk bahan baku interior pesawat dan kereta cepat.

Selain itu, CNGR juga memproduksi nikel katoda dengan kapasitas produksi 60 ribu ton per tahun. Dia menambahkan, sebagian besar produksinya adalah untuk ekspor.

Direktur Komunikasi PT IMIP Emilia Bassar mengatakan, kawasan IMIP menempati lahan 2.000 hektare dan akan diperluas menjadi 5.000 hektare. Saat ini ada 50 tenant yang menempati kawasan IMIP, baik yang sudah tahapan produksi, kontruksi, dan perencanaan. 

Tenant tersebut antara lain berasal dari Tiongkok, Jepang, Korea, Australia, dan Indonesia,” ujarnya.

Beberapa tenant utama dalam Kawasan IMIP adalah Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), Dexin Steel Indonesia (DSI), QMB New

Energy Materials, Huayue Nickel Cobalt Indonesia (HYNC), CNGR Ding Xing New Energy (CDNE), dan Merdeka Tsinghan Indonesia (MTI).

Berdasarkan data PT IMIP, nilai investasi di kawasan industri tersebut dari 2015 hingga 2024 sudah mencapai US$34,3 miliar. Sementara itu, devisa yang diperoleh negara dari ekspor mencapai US$15,44 miliar pada 2024. Sementara itu, tenaga kerja yang dipekerjakan di kawasan itu mencapai 90 ribu orang. (Hde/E-1)