Pembeli Pertama Cari Ketenangan, Bukan Cuma Murah

Pembeli Pertama Cari Ketenangan, Bukan Cuma Murah



loading…

Honda optimistis bahwa pasar Brio tidak goyah kendati ada mobil listrik dengan harga setara LCGC. Foto: Sindonews/Muhamad Fadli Ramadan

ICE BSD – Panggung GAIKINDO Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2025 tengah diguncang oleh “perang harga” mobil listrik murah dari para merek penantang baru. Dengan banderol yang kini menembus di bawah Rp200 jutaan, muncul sebuah pertanyaan besar: apakah ini akhir dari era mobil terjangkau konvensional atau Low Cost Green Car (LCGC)?

Menjawab guncangan ini, PT Honda Prospect Motor (HPM), sebagai “raja” di segmen LCGC melalui Honda Brio, justru tampil dengan sangat tenang dan percaya diri.

Menurut mereka, “tsunami” mobil listrik murah ini tidak akan dengan mudah menumbangkan takhta LCGC. Alasannya sederhana: pembeli mobil pertama di Indonesia memiliki pola pikir yang berbeda.

Dua Dunia Pembeli Pertama

Sales & Marketing and After Sales Director PT HPM, Yusak Billy, mengakui bahwa kehadiran mobil listrik dengan harga sangat miring memang menarik. Namun, ia menegaskan bahwa target pasarnya berbeda.

“Ya, itu menarik ya (mobil listrik murah). Tapi itu menarik bagi orang yang memang mencari mobil listrik murah. Tapi belum tentu untuk segmen orang yang first time buyer,” kata Billy di arena GIIAS 2025.

Menurutnya, ada dua dunia yang berbeda. Ada segmen pembeli yang memang sudah mengincar mobil listrik dan mencari harga termurah.

Amnesti dan Abolisi untuk Koruptor Bukti Prabowo Subianto cuma Omon-Omon


Amnesti dan Abolisi untuk Koruptor Bukti Prabowo Subianto cuma Omon-Omon
Ilustrasi(Antara)

IM57+ Institute mengkritik pemberian amnesti kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong. Keputusan ini dinilai sebagai upaya mengakali hukum.

“Ini adalah bentuk terang benderangnya upaya mengakali hukum yang berlaku,” ujar Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito dalam keterangannya pada Jumat (1/8).

Ia menilai pemberian amnesti dan abolisi terhadap terdakwa kasus korupsi sangat berbahaya. Hal tersebut mengingat penyelesaian kasus korupsi pada akhirnya dilakukan melalui kesepakatan politik dalam meja negosiasi yang mengkhianati rakyat.

“Ini bisa menjadi preseden buruk bagi proses penegakan hukum di negeri ini dan merupakan pengkhianatan atas janji pemberantasan korupsi yang diungkap oleh Presiden sendiri,” tutur Lakso.

Pemberian amnesti dan abolisi pada perkara korupsi dapat menimbulkan konsekuensi dan dapat merusak kepercayaan publik terhadap penegakan hukum, melemahkan upaya pemberantasan korupsi, dan menciptakan impunitas bagi pelaku korupsi.

“Ke depan, politisi tidak akan takut melakukan korupsi karena penyelesaian dapat dilakukan melalui kesepakatan politik,” imbuhnya.

Selain itu, Lakso menyebut keputusan memberi amnesti dan abolisi sangat bertentangan dengan klaim komitmen pemberantasan korupsi yang sering digaungkan oleh Presiden Prabowo. Terlebih, mengenai amnesti terhadap Hasto, sangat disayangkan lantaran kasus tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama untuk ditangani karena rawan intervensi.

“Ini menandakan Presiden sama sekali tidak memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi dan hanya omon-omon saja. Di tengah upaya serius KPK dalam membongkar kasus yang menjadi tunggakan, Presiden malah memilih mengampuni,” tukasnya.

Lebih lanjut, Lakso menyerukan agar masyarakat luas menolak keputusan Presiden memberi amnesti dan abolisi terhadap terdakwa kasus dugaan korupsi.

“Tindakan ini harus ditolak secara masif karena apabila dibiarkan akan berakibat pada runtuhnya bangunan rule of law dan bergantinya menjadi rule by law atas proses penegakan hukum di negeri ini,” ungkap Lakso.

Lakso menjelaskan Rule by law merupakan konsep yang merujuk pada penggunaan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.

“Pembiaran akan meruntuhkan secara jelas bangunan dan fondasi penegakan hukum di negeri ini,” pungkasnya. (E-3)