Dianggap Bulan Sial, Benarkah Segala Bala dan Musibah Bakal Turun di Hari Rabu Terakhir Bulan Safar?

Dianggap Bulan Sial, Benarkah Segala Bala dan Musibah Bakal Turun di Hari Rabu Terakhir Bulan Safar?



loading…

Masyarakat jahiliyah, sering mengatakan bulan Safar adalah bulan sial, anggapan ini telah terkenal dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini, bahkan menganggap segala bala musibah akan turun ke bumi pada Rebo Wekasan. Foto ilustras

Dianggap bulan penuh kesialan, Rabu terakhir (wekasan) di bulan Safar atau bertepatan dengan 20 Agustus 2025 akan datang segala musibah ke muka bumi. Benarkah demikian?

Bulan Safar adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam. Sebagaimana bulan lainnya, harusnya merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang tidak memiliki kehendak dan berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.

Namun, masyarakat jahiliyah kuno , termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Safar adalah bulan sial. Tasa’um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliyah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini. Bahkan, sebagian orang ahli makrifat termasuk orang yang ahli mukasyafah mengatakan setiap tahun Allah menurunkan bala (bencana) yang berjumlah 320.000. Kesemuanya diturunkan pada hari Rabu yang terakhir di bulan Safar.

Abdul Hamid Quds adalah salah satu yang berpendapat demikian. Pendapat itu disampaikan dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur. Oleh sebab itu, katanya, Rebo Wekasan akan menjadi hari terberat di sepanjang tahun.

Disebutkan, maka barang siapa yang melakukan salat 4 rakaat (nawafil, sunnah), di mana setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17 kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas masing-masing sekali; lalu setelah salam membaca doa, maka Allah dengan kemurahan-Nya akan menjaga orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.

Akan tetapi sebuah hadis dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda ,

“Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa.” (HR Imam al-Bukhari dan Muslim).

Ungkapan hadis laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah .

Baca juga: Rebo Wekasan, Asal-usul dan Hukum Amalannya Menurut Islam

Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah. Dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda: “Janganlah unta yang sakit didatangkan pada unta yang sehat”.

Maksud hadis laa thiyaarata atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin.

Orang Dewasa dengan Komorbid Lebih Parah saat Kena DBD, Benarkah

Orang Dewasa dengan Komorbid Lebih Parah saat Kena DBD, Benarkah


Orang Dewasa dengan Komorbid Lebih Parah saat Kena DBD, Benarkah?
Ilustrasi.(freepik)

DOKTER Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Alergi Imunologi Klinik   dr. Sukamto, SpPD, K-AI, FINASIM, mengatakan orang dewasa yang memiliki penyakit penyerta atau komorbid, punya risiko keparahan yang lebih tinggi jika terkena demam berdarah dengue atau DBD. Ia mencontohkan, hipertensi 2-3 kali lipat; obesitas 1,5-2 kali lipat; penyakit ginjal 7 kali lipat; diabetes melitus 3-5 kali lipat; dan penyakit paru-paru 2-12 kali lipat.

“Karena itu, penting bagi setiap keluarga untuk memahami bahwa pencegahan harus dilakukan secara menyeluruh, melalui kebiasaan menjaga lingkungan dengan 3M Plus, penggunaan pelindung diri, dan mempertimbangkan penggunaan metode pencegahan yang inovatif seperti vaksinasi, yang telah direkomendasikan oleh asosiasi medis bagi anak maupun dewasa,” ujar dia dalam sesi diskusi di Jakarta, baru-baru ini. 

Peran Ibu Cegah DBD

dr. Sukamto menambahkan tantangan besar yang dihadapi Indonesia ialah  meningkatnya risiko penyakit menular. Saat musim hujan, penyakit yang sering merebak salah satunya dengue, yang dapat menyerang siapa saja tanpa memandang usia, gaya hidup, atau tempat tinggal. Menurutnya peran perempuan penting dalam menjaga kesehatan keluarga yang merupakan lingkup terkecil dalam masyarakat, baik sebagai individu, istri, maupun ibu. Melalui peran tersebut, perempuan tidak hanya merawat tetapi juga menjadi garda terdepan dalam upaya perlindungan keluarga, termasuk terhadap berbagai ancaman penyakit, salah satunya dengue. 

“Perempuan menjadi jembatan informasi dan penggerak aksi di lingkup rumah tangga maupun komunitas. Kita semua berisiko. Bahkan orang dewasa yang tampak sehat bisa membawa virus dengue tanpa disadari, dan berpotensi menularkan kepada orang lain melalui gigitan nyamuk,” ujar dia.

Ia meyakini dengan memberdayakan perempuan melalui akses terhadap edukasi dan perlindungan kesehatan, itu tidak hanya menjaga mereka, tetapi juga memperkuat perlindungan seluruh keluarga.

“Perempuan punya peran penting dalam menggerakkan langkah itu. Saat kita semua ambil bagian, kita bukan hanya menjaga keluarga, tapi juga membangun masa depan yang lebih sehat,” tutupnya.

Sementara itu, Bernie Endyarni Medise, Sp.A(K) Spesialis Anak Konsultan, mengingatkan bahwa anak-anak justru berada dalam kelompok paling rentan.

Ia mengutip data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam tujuh tahun terakhir, kematian akibat dengue paling banyak terjadi pada anak-anak dan remaja usia 5–14 tahun. 

“Ini menunjukkan bahwa anak-anak masih sangat rentan dan perlu dilindungi dengan serius,” jelasnya. 

Fase Demam DBD

Ia juga memaparkan gejala khas dengue, termasuk siklus demam DBD seperti pelana kuda, serta tanda bahaya yang harus diwaspadai. “Dengue memiliki tiga fase utama, yaitu fase demam tinggi, fase kritis (demam turun), dan fase penyembuhan (demam naik lagi). Gejala yang muncul biasanya meliputi demam tinggi, nyeri kepala, mual, muntah, nyeri otot dan sendi, hingga ruam di kulit (petekie). 

Menurutnya tidak jarang orang tua datang membawa anaknya dalam kondisi yang cukup kritis, bahkan mengarah pada Dengue Shock Syndrome (DSS) yang berisiko tinggi menyebabkan kegagalan organ karena perdarahan hebat dan penurunan tekanan darah secara drastis.

dr. Bernie mengingatkan bahwa satu kali terinfeksi dengue bukan berarti seseorang akan kebal selamanya. Seorang anak, kata dia, yang pernah terkena dengue tetap bisa terinfeksi kembali, dan yang perlu digarisbawahi, infeksi kedua justru berisiko menimbulkan gejala yang lebih berat dibanding infeksi pertama. 

“Inilah yang membuat pencegahan menjadi semakin penting,” jelasnya.

Menurut dr. Bernie, sampai saat ini masih belum ada pengobatan yang spesifik untuk menyembuhkan dengue. “Pengobatan yang tersedia bertujuan untuk meredakan gejala dan mencegah komplikasi, seperti penurun panas, pengganti cairan, anti-radang, dan terapi pendukung lainnya.

“Pencegahan menjadi kunci, salah satunya melalui vaksinasi. Vaksinasi dengue sendiri telah direkomendasikan penggunaannya bagi anak dan orang dewasa, oleh asosiasi medis, termasuk Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),” tutupnya.

Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines, Andreas Gutknecht menyampaikan bahwa perempuan ialah inti dari keluarga dan komunitas yang sehat. 

Ia menyebut ada banyak langkah yang bisa dilakukan mulai dari menjaga kebersihan rumah, aktif melakukan 3M Plus, mencari informasi yang tepat, dan mempertimbangkan perlindungan tambahan yang inovatif. (H-4)