Kekuatan Bukanlah Membunuh atau Membuat Anak-Anak Kelaparan

Kekuatan Bukanlah Membunuh atau Membuat Anak-Anak Kelaparan



loading…

Australia dan Israel bersitegang mengenai Gaza. Foto/X

GAZAAustralia melancarkan serangan keras terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Rabu setelah ia menuduh Perdana Menterinya, Anthony Albanese, sebagai “politisi lemah yang mengkhianati Israel dan mengabaikan orang-orang Yahudi Australia.”

Menanggapi melalui salah satu menteri seniornya, Australia mengatakan bahwa “kekuatan tidak diukur dari berapa banyak orang yang bisa Anda ledakkan”.

Menteri Dalam Negeri Australia Tony Burke mengatakan kepada lembaga penyiaran publik ABC bahwa “kekuatan tidak diukur dari berapa banyak orang yang bisa Anda ledakkan, atau berapa banyak anak yang bisa Anda tinggalkan kelaparan”.

Hubungan antara Australia dan Israel telah memburuk tajam sejak Canberra mengumumkan pekan lalu bahwa mereka akan mengakui Negara Palestina dalam pertemuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa September mendatang.

BacaJuga: Israel Panggil 60.000 Tentara Cadangan Jelang Invasi Darat ke Gaza

Pada hari Senin, Australia melarang visa Simcha Rothman, seorang anggota Knesset sayap kanan Israel dari partai Zionisme Religius dan anggota koalisi Netanyahu, dengan alasan kekhawatiran bahwa pernyataannya dapat memicu perpecahan dalam masyarakat Australia jika ia mengunjungi negara tersebut.

Anak-Anak di Daerah 3T Rayakan Kemerdekaan lewat Lomba Mewarnai

Anak-Anak di Daerah 3T Rayakan Kemerdekaan lewat Lomba Mewarnai


Anak-Anak di Daerah 3T Rayakan Kemerdekaan lewat Lomba Mewarnai
Anak-anak nasabah PNM mengikuti lomba mewarnai.(PNM)

Dalam rangka memperingati HUT ke-80 RI, PT Permodalan Nasional Madani (PNM) menggelar lomba mewarnai yang diikuti anak-anak nasabah PNM Mekaar di wilayah Terdepan, Terpencil, Tertinggal (3T). Kegiatan ini dilaksanakan serentak di beberapa Ruang Pintar PNM dan Kantor Layanan PNM. Tak sekadar lomba, kegiatan ini menjadi wadah bagi anak-anak untuk mengekspresikan kreativitas sekaligus menanamkan nilai nasionalisme sejak dini.

Melalui tema 80 Tahun Indonesia Merdeka: Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera Indonesia Maju, para peserta menuangkan imajinasi mereka dalam mewarnai gambar bertema kemerdekaan, pahlawan, dan keindahan alam Indonesia.

Sekretaris Perusahaan PNM L Dodot Patria Ary, menjelaskan bahwa kegiatan ini sejalan dengan misi PNM untuk tidak hanya memberdayakan ekonomi keluarga, tetapi juga membangun karakter generasi penerus bangsa.

“Kemerdekaan bukan hanya diwariskan, tetapi harus terus ditumbuhkan di hati setiap anak bangsa. Melalui lomba ini, kami berharap anak-anak di wilayah 3T semakin mencintai Indonesia dan memahami arti merdeka dalam berkarya,” ujarnya dilansir dari keterangan resmi, Sabtu (16/8).

Ia menambahkan, menumbuhkan rasa nasionalisme pada anak-anak sangat penting agar mereka tumbuh menjadi generasi yang peduli dan bangga terhadap bangsanya.

“Anak-anak adalah pewaris masa depan bangsa. Semakin dini mereka mencintai negaranya, semakin besar peluang kita memiliki masa depan yang kuat dan bersatu. PNM ingin menjadi bagian dari proses itu,” tegas Dodot.

Salah satu pendamping nasabah dari Fuk-Fuk, Papua, Rutlina Rumbino, mengaku mendapat banyak ucapan terima kasih dari para nasabah yang turut berpartisipasi. Dengan menyasar wilayah 3T, PNM membuktikan komitmennya untuk menghadirkan kemeriahan kemerdekaan hingga ke pelosok negeri. Lomba mewarnai ini menjadi simbol bahwa semangat 80 tahun kemerdekaan RI bukan hanya dirayakan di kota besar, tetapi juga mengakar di desa-desa dan pulau-pulau terdepan, demi Indonesia yang semakin mandiri dan berdaya. (E-3)

Survei Ungkap Alasan Anak-Anak Menolak Sekolah

Survei Ungkap Alasan Anak-Anak Menolak Sekolah


Survei Ungkap Alasan Anak-Anak Menolak Sekolah
Ilustrasi(freepik)

KETIKA mendengar anak mengucapkan kalimat, “Aku tidak mau sekolah”  tentu bukanlah hal yang baru atau asing. Seringkali, anak yang lelah atau stres akan terlihat malas di pagi hari, mengingat tuntutan perilaku, pekerjaan rumah, dan interaksi sosial membuat sekolah justru terasa membebani bagi siswa dari berbagai usia. 

Jika penolakan untuk bersekolah terjadi secara konsisten dan berulang, hal ini dapat menandakan penghindaran sekolah. Hal itu menjadi masalah yang memerlukan perhatian khusus dan intervensi yang lebih terfokus. 

Survei terbaru yang dilakukan The Kids Mental Health Foundation terhadap lebih dari 1.000 orang tua menunjukkan anak-anak sering tidak bersekolah karena merasa lelah, cemas, atau mengaku sakit. Namun, para ahli menekankan gejala fisik semacam ini sering kali berkaitan dengan masalah kesehatan mental.

Apa yang ditemukan survei?

Survei menemukan 30% orangtua yang anaknya absen karena rasa takut atau cemas, melaporkan anak mereka tidak masuk sekolah selama lebih dari seminggu. Lamanya waktu yang dihabiskan di luar kelas ini membuat orangtua perlu mengambil langkah untuk menangani masalah kesehatan mental agar anak tidak tertinggal.

Selain itu, temuan dari survei tersebut menunjukkan 42% anak mengaku tidak cukup sehat secara fisik untuk hadir, sementara 20% lainnya menyatakan terlalu lelah untuk pergi ke sekolah. 

Dalam pernyataannya, Ariana Hoet, Direktur Klinis Eksekutif The Kids Mental Health Foundation sekaligus psikolog anak di Nationwide Children’s, menjelaskan anak-anak bisa enggan bersekolah karena berbagai alasan sosial dan akademis.

Mereka mungkin menghadapi masalah seperti perundungan, merasa tidak cocok dengan lingkungan, khawatir menghadapi ujian, atau cemas harus berbicara di depan kelas. Selain itu, beberapa anak yang memiliki gangguan belajar yang belum terdiagnosis dapat mengalami stres tambahan, sehingga membuat mereka enggan untuk hadir di sekolah.

Peran penting orang tua

Orangtua memiliki peran penting dalam mengamati perilaku anak-anaknya, menjaga komunikasi tetap terbuka agar mereka merasa nyaman mengungkapkan isi hatinya. Jika anak Anda merasa nyaman di rumah, ia tidak akan segan untuk terus terang kepada orang tuanya tentang masalah sebenarnya mereka tidak mau pergi sekolah.  (parents/Z-2)

Siapa Anthony Aguilar? Tentara Bayaran AS yang Tuding Sniper Israel Tembaki Anak-anak Gaza

Siapa Anthony Aguilar? Tentara Bayaran AS yang Tuding Sniper Israel Tembaki Anak-anak Gaza



loading…

Anthony Aguilar merupakan mantan tentara bayaran AS yang tuding sniper Israel tembaki anak-anak Gaza. Foto/BBC

WASHINGTON – Mantan anggota pasukan khusus Angkatan Darat AS yang bekerja sebagai kontraktor militer, Anthony Aguilar, mengungkapkan sniper Israel selalu bersiap siaga untuk menembak mati anak-anak Palestina yang tidak bersenjata di Gaza. Bahkan, sebuah perusahaan tentara bayaran AS memberi tahu seorang karyawan bahwa ia tidak diizinkan untuk menghalangi mereka.

Mantan Baret Hijau (pasukan khusus Angkatan Darat AS) dan kontraktor, Anthony Aguilar, mengungkapkan perintah mengerikan dari militer Israel dalam sebuah wawancara dengan Senator AS Chris Van Hollen yang disiarkan oleh kantornya pada hari Selasa.

Siapa Anthony Aguilar? Tentara Bayaran AS yang Tuding Sniper Israel Tembaki Anak-anak Gaza

1. Saksi Mata saat Kolonel Israel Meminta Sniper Menembaki Anak-anak Gaza

Aguilar mengatakan bahwa seorang letnan kolonel Israel memerintahkannya untuk menurunkan anak-anak Palestina dari bahu seorang pria, tempat mereka berdiri, agar tidak terhimpit oleh kerumunan orang yang kelaparan yang mencoba mengambil bantuan.

“Seorang pria Palestina telah mengangkat beberapa anak agar mereka dapat naik ke bahunya dan naik ke tanggul karena mereka terhimpit. Dia [perwira Israel] berkata, ‘Suruh anak buahmu untuk menurunkan mereka,’” kata Aguilar kepada Van Hollen. “Saya seperti, ‘kita bisa mengendalikan ini’… mereka anak-anak.”

Perwira Israel itu meledak, kenang Aguilar, sambil mengancam, “Turunkan mereka sekarang atau saya yang akan melakukannya.”

Aguilar mengatakan ia mengabaikan ancaman tersebut sebagai “bombastis” hingga seorang tentara bayaran AS lainnya mengatakan bahwa perwira Israel tersebut telah menggunakan radio untuk berkomunikasi dengan penembak jitu di pangkalan terdekat, memerintahkan mereka untuk membunuh anak-anak tersebut.

“Salah satu kontraktor… adalah orang Amerika yang bisa berbahasa Ibrani. Ia berkata, ‘Hei. Ia hanya menyuruh para penembak jitu… untuk menghabisi anak-anak ini’,” kata Aguilar.

Ketika Aguilar berhadapan dengan kolonel Israel tersebut, ia menjawab, “Saya akan mengurus ini jika Anda tidak melakukannya”.

Aguilar mengatakan bahwa anak-anak tersebut akhirnya melarikan diri dari lokasi kejadian, tetapi ia telah memberi tahu perwira Israel tersebut bahwa ia tidak akan mengizinkannya menembak anak-anak.

“Mereka tidak ingin berada di sana. Mereka tidak bersenjata. Mereka tidak punya sepatu. Salah satu dari mereka tidak mengenakan kemeja. Mereka kelaparan,” katanya.

Baca Juga: Konflik Dinasti Thaksin dan Hun Sen Picu Perang 2 Negara?

2. Tentara Bayaran AS Tak Bisa Intervensi Prajurit Israel

Setelah insiden itu, Aguilar mengatakan bahwa kepala operasi perusahaan tentara bayaran AS, Safe Reach Solutions (SRS), memanggilnya keluar dan menegurnya.

“Dia menatap wajah saya dan berkata, ‘Jangan pernah bilang tidak kepada klien’.”

Aguilar mengatakan dia mendesak COO tersebut tentang siapa klien Safe Reach Solution, menambahkan bahwa dia mendapat kesan bahwa perusahaan tersebut telah dipekerjakan langsung oleh Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) yang didukung AS dan Israel.

“Dia berkata ‘Tidak, IDF…kami bekerja untuk mereka,” tambahnya, merujuk pada tentara Israel.

Kelaparan dan Malanutrisi Meluas di Gaza, Dokter Israel Sasar Anak-Anak

Kelaparan dan Malanutrisi Meluas di Gaza, Dokter Israel Sasar Anak-Anak


Kelaparan dan Malanutrisi Meluas di Gaza, Dokter: Israel Sasar Anak-Anak
Demonstrasi membela Gaza.(Al Jazeera)

KONDISI kelaparan di Jalur Gaza kini mencapai titik kritis dan mengancam nyawa lebih dari dua juta penduduk Palestina. Para pekerja kemanusiaan dan tenaga medis di lapangan melaporkan lonjakan tajam dalam jumlah kematian akibat kelaparan tidak hanya di kalangan anak-anak sebagai kelompok paling rentan tetapi juga orang dewasa.

Sejak Maret 2025, blokade yang diberlakukan Israel semakin memperburuk krisis kemanusiaan. Program Pangan Dunia (WFP) menyebutkan hampir 100.000 perempuan dan anak-anak membutuhkan penanganan gizi secara mendesak.

Selain itu, hampir sepertiga penduduk Gaza dilaporkan tidak makan selama berhari-hari. Di sisi lain, fasilitas medis kehabisan obat-obatan penting dan perlengkapan pengobatan utama.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat peningkatan drastis kasus malanutrisi dan penyakit dengan sebagian besar penduduk Gaza kini berada dalam kondisi kelaparan akut.

Sementara itu, lembaga Medecins Sans Frontieres (MSF) melaporkan seperempat kalangan anak-anak dan perempuan hamil atau menyusui yang diperiksa di klinik mereka di Gaza pekan lalu mengalami kekurangan gizi. MSF menuding Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang secara sengaja.

Dengan jumlah anak yang mencapai sekitar separuh dari total penduduk, Gaza kini menghadapi ancaman serius terhadap generasi masa depan. Para dokter memperingatkan malanutrisi kronis tengah menghancurkan kesehatan anak-anak secara permanen di seluruh wilayah tersebut.

“Perang ini menargetkan satu generasi yaitu generasi anak-anak di bawah usia tiga tahun, karena sistem saraf pusat berkembang hampir sepenuhnya pada usia dua hingga tiga tahun,” kata Dr Ahmed Al-Farrah, kepala bagian anak di Rumah Sakit Nasser seperti dikutip NPR.

PBB sendiri telah memperingatkan wilayah Gaza sedang menuju kelaparan massal seiring pembatasan ketat terhadap distribusi makanan dan bantuan kemanusiaan oleh Israel.

Menghadapi tekanan internasional yang semakin besar, militer Israel sejak Minggu mulai memberlakukan jeda harian selama 10 jam di beberapa wilayah berpenduduk padat untuk memungkinkan pengiriman makanan dan bantuan.

Selama jeda ini, Israel menyatakan akan menghentikan operasi militer di Gaza City, Deir al-Balah, dan Al-Mawasi. Israel juga menyebut telah menyiapkan jalur aman bagi truk-truk bantuan PBB untuk menyalurkan makanan dan obat-obatan ke berbagai titik di Gaza.

Namun di tengah langkah itu, pemerintah Israel menghadapi tekanan dari partai-partai sayap kanan dalam negeri untuk mengendalikan distribusi bantuan pangan. (I-2)