Ilmuwan Temukan Cara Baru Memecah Bahan Kimia Abadi PFAS dengan Sinar Matahari

Ilmuwan Temukan Cara Baru Memecah Bahan Kimia Abadi PFAS dengan Sinar Matahari


Ilmuwan Temukan Cara Baru Memecah Bahan Kimia Abadi PFAS dengan Sinar Matahari
Ilustrasi(freepik)

PARA ilmuwan berhasil mengembangkan metode baru untuk memecah bahan kimia abadi berbahaya. Metode ini dengan memanfaatkan material yang aktif saat terkena sinar matahari.

Zat perfluoroalkil dan polifluoroalkil (PFAS) adalah bahan kimia yang banyak ditemukan dalam produk rumah tangga, mulai dari peralatan masak anti lengket, kosmetik, benang gigi, hingga pakaian tahan air. Sesuai julukannya, zat ini butuh ribuan tahun untuk terurai, sehingga dapat menumpuk di lingkungan maupun di tubuh manusia.

PFAS sudah digunakan sejak 1940-an. Awalnya karena sifatnya yang anti lengket. Namun kini, zat ini dikaitkan dengan berbagai risiko kesehatan, termasuk meningkatnya potensi penyakit atoimun, gangguan perkembangan, penurunan kesuburan hingga kanker.

Beberapa jenis PFAS bahkan sudah dilarang penggunaannya. Meski begitu, dengan hampir 15.000 jenis yang pernah diproduksi, diperkirakan sekitar 98% populasi di AS memiliki zat ini di dalam darah mereka.

Memecah Bahan Kimia

Kini para ilmuwan berhasil menemukan cara untuk memecah bahan kimia tersebut hingga menjadi fluorida yang aman dalam dosis rendah. Hasil penelitian ini dipublikasikan pada 25 Juli di jurnal Small.

“Kontaminasi PFAS masih menjadi ancaman kesehatan global, dan riset ini adalah langkah penting menuju terciptanya lingkungan yang lebih aman dan ekosistem yang lebih bersih,” kata ilmuwan, Cameron Shearer, ahli material dari University of Adelaide, Australia dalam pernyataannya.

PFAS sulit terurai karena memiliki ikatan kimia yang sangat kuat. Struktur molekulnya terdiri dari kepala (berupa molekul oksigen bermuatan) yang terhubung dengan ekor atom karbon dan fluor. Untuk menguraikan PFAS, ikatan ini harus diputus, namun hal tersebut sangat sulit dilakukan dengan metode tradisional.

“Banyak kontaminasi air bisa diuraikan dengan menambahkan bahan kimia reaktif yang menempel pada karbon,” jelas Shearer. “Namun pada molekul PFAS, atom karbon terlindungi sedemikian rupa sehingga proses ini hampir mustahil dilakukan.”

Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti mengembangkan berbagai cara untuk menguraikan PFAS dengan memanfaatkan bahan yang disebut fotokatalitik, yaitu material yang dapat menyerap cahaya untuk mempercepat reaksi kimia. Dalam penelitian terbaru ini, para ilmuwan menggunakan fotokalistik bernama cadmium indium sulfide, yang dikenal mampu melepaskan senyawa oksigen reaktif atau radikal bebas ketika terpapar cahaya tampak.

Saat bahan tersebut dicampurkan dengan salah satu jenis PFAS umum, yaitu perfluorooctane sulfonate (PFOS), para peneliti mengamati bagaimana fotokalistik menyerap cahaya lalu menghasilkan radikal bebas yang menyerang atom fluor pada ikatan kimianya.

Dalam kondisi optimal, metode ini berhasil memecah hampir 99% molekul PFOS hingga benar-benar terurai. Produk sampingannya bahkan berupa komponen yang menurut para ilmuwan bisa dimanfaatkan kembali, misalnya sebagai bahan tambahan pasta gigi atau pupuk.

Shearer menambahkan, material yang mereka kembangkan berpotensi digunakan dalam rangkaian pengolahan PFAS. Pengolahan itu mulai dari tahap menangkap dan memusatkan zat tersebut dalam air, lalu menghancurkannya menggunakan material yang diaktifkan cahaya. 

Ia juga menegaskan penelitian lanjutan akan difokuskan pada peningkatan stabilitas material sebelum diterapkan dalam skala besar. (Livescience/Z-2)

Sejarah Diplomasi Budaya Indonesia di Papua Nugini, Patung Sir Michael Somare Jadi Ikon Persahabatan Abadi

Sejarah Diplomasi Budaya Indonesia di Papua Nugini, Patung Sir Michael Somare Jadi Ikon Persahabatan Abadi



loading…

Tokoh budaya nasional Putu Supadma Rudana pidato kebudayaan dalam acara peresmian Patung Bapak Bangsa PNG Sir Michael Thomas Somare. Foto/Istimewa

JAKARTA – Tokoh budaya nasional Putu Supadma Rudana menghadiri upacara peresmian/unveiling ceremony patung monumental Sir Michael Thomas Somare, Bapak Bangsa Papua Nugini /The Grand Chief di Gedung Parlemen Nasional PNG, Port Moresby. Hal ini merupakan catatan sejarah diplomasi budaya tingkat tinggi di kancah internasional.

Patung perunggu setinggi 3,2 meter dan hampir 5 meter dengan fondasi ini merupakan karya seniman muda Indonesia, I Gede Sarantika, hasil kolaborasi Parlemen Papua Nugini dengan Museum Rudana, Bali. Pembuatan Patung ini diinisiasi sejak 2023 oleh Wakil Ketua Parlemen PNG Hon. Johnson Wapunai, bersama Presiden The Rudana Fine Art Institution, Putu Supadma Rudana, dengan dukungan penuh pendiri Museum Rudana, Nyoman Rudana.

“Patung berbahan perunggu murni ini bukan sekadar karya seni. Ia adalah monumen hidup tentang hubungan baik Indonesia dan Papua New Guinea yang merupakan pintu gerbang ke negara-negara kepulauan pasifik, melambangkan hubungan persahabatan sejati dan abadi antara Indonesia dan Papua Nugini, melampaui batas-batas diplomasi politik, menembus ruang-ruang diplomasi formal, dan berakar pada nilai kemanusiaan serta kearifan/kebijaksanaan lokal,” ujar Putu Supadma Rudana, Jumat (15/8/2025).

Menurutnya, ini merupakan bentuk penghormatan antarkedua bangsa dan masyarakatnya. “Saat kita memuliakan bapak bangsa mereka, mereka pun melakukan hal yang sama dengan menghormati kedaulatan kita. Ini merupakan diplomasi yang terelevasi tinggi berbasis kebudayaan dan persaudaraan,” katanya.

Peresmian dilakukan pada 7 Agustus 2025, bertepatan dengan 50 tahun lahirnya Parlemen Nasional PNG, jelang HUT Kemerdekaan PNG ke-50 (16 September 2025), HUT ke-80 RI (17 Agustus 2025), dan 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia–Papua Nugini. Berbagai pagelaran seni tari khas pasifik, pagelaran budaya yang juga memasukkan unsur seni pertunjukan spiritual dari daerah asal Sir Michael Thomas Sumari juga dihadirkan dalam upacara peresmian tersebut.