
RENCANA pembangunan permukiman Israel di wilayah yang dikenal sebagai E1, sebidang tanah kecil tetapi strategis, di Tepi Barat yang diduduki, telah disusun sebelum Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pertama kali berkuasa hampir tiga dekade lalu. Membangun permukiman di sana sebenarnya tabu, karena tanah tersebut dianggap penting bagi negara Palestina di masa depan, tetapi pembangunan mungkin akan segera dimulai.
Persetujuan akhir Israel untuk proyek permukiman, yang diberikan minggu lalu, menunjukkan seberapa jauh Netanyahu dan pemerintahan sayap kanannya melangkah dalam menentang parameter yang diterima secara internasional untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Netanyahu, dengan dukungan nyata dari Presiden Trump dan pemerintahannya, tampaknya meninggalkan segala bentuk penerimaan terhadap bentuk kenegaraan Palestina, demi Israel yang lebih besar melampaui batas-batas negara Yahudi asli yang didirikan pada 1948.
Dilaporkan New York Times, kemarin, para ahli mengatakan bahwa Netanyahu juga tampaknya meninggalkan visinya untuk menjalin hubungan dengan lingkaran luar negara-negara Arab moderat yang dulu ia anggap akan membantu menekan Palestina ke dalam kompromi teritorial. Sebaliknya, ia mengukir kontur dominasi tak terbatas atas tanah-tanah yang ditaklukkan Israel dalam perang Arab-Israel pada 1967, termasuk Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem Timur, sehingga merobohkan fondasi negara Palestina di masa depan.
Dalam kunjungan baru-baru ini ke Ofra, permukiman di Tepi Barat, untuk memperingati 50 tahun berdirinya, Netanyahu mengatakan, “Saya berdiri di sini setengah abad yang lalu dan mengatakan bahwa kami akan melakukan segalanya untuk memastikan keberlangsungan kekuasaan kami di tanah Israel. Kami akan mencegah pembentukan negara Palestina dan kami akan menggagalkan semua upaya untuk mencabut kami dari sini.”
Selama bertahun-tahun, Netanyahu hanya menyuarakan gagasan solusi dua negara. Akan tetapi, dalam kunjungan ke Ofra tersebut, ia menyatakan, “Terima kasih Tuhan, kami menepati janji kami.”
Pembentukan negara Palestina di samping Israel secara luas dipandang sebagai satu-satunya solusi praktis yang memungkinkan untuk konflik yang berlangsung seabad itu. Para penyokong perdamaian, baik dari dalam maupun luar negeri, berpendapat bahwa pembangunan di E1 akan mempersulit prospek Negara Palestina.
Hingga saat ini, setiap pemerintahan Amerika Serikat dengan keras menentang pembangunan perumahan Israel di sana demi mempertahankan opsi perjanjian damai yang dinegosiasikan. Persetujuan yang diberikan minggu lalu memicu kecaman internasional yang keras dari banyak sekutu tradisional Israel.
Dalam wawancara bulan ini dengan satu saluran berita Israel yang berhaluan kanan, Netanyahu mengatakan bahwa ia sedang dalam misi historis dan spiritual terkait visi Israel Raya. Visi ini menegaskan Negara Israel tidak hanya mencakup seluruh wilayah Palestina, tetapi juga sebagian wilayah Yordania, Libanon, Mesir, Suriah, Irak, dan Arab Saudi.
Prospek solusi dua negara juga surut karena tanah Tepi Barat digerogoti oleh perluasan permukiman yang didukung oleh mitra koalisi sayap kanan yang diandalkan Netanyahu untuk tetap berkuasa, di antaranya Bezalel Smotrich, menteri keuangan.
Sebelumnya, Kabinet Arab Saudi dengan tegas mengecam rencana Benjamin Netanyahu untuk menciptakan Israel Raya. Menurut informasi dari Samaa TV, Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman memimpin pertemuan itu.
“Pernyataan-pernyataan ini merupakan pengabaian serius dan pelanggaran terang-terangan serta berbahaya terhadap aturan hukum internasional dan fondasi hubungan internasional yang stabil,” demikian pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh koalisi 31 negara Arab dan Islam serta Liga Arab, pertengahan bulan ini. “Pernyataan-pernyataan ini juga merupakan ancaman langsung terhadap keamanan nasional Arab, kedaulatan negara-negara Arab, serta perdamaian dan keamanan regional dan internasional,” demikian bunyi pernyataan itu. (Al Jazeera/Ndf/I-2)