
FORUM Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) menyampaikan keluhan masyarakat terkait kelangkaan beras premium di ritel modern. Ketua FKBI Tulus Abadi menyebut kelangkaan tersebut telah menimbulkan keresahan luas di sebagian kalangan konsumen. Ia menduga itu terjadi akibat kasus beras oplosan.
“FKBI menyoroti bahwa sesungguhnya masalah ini bukan disebabkan oleh kekurangan produksi, melainkan oleh adanya gangguan distribusi yang dipicu oleh tekanan hukum dan ketidakjelasan regulasi pasca pengusutan kasus beras oplosan oleh Satgas Pangan Bareskrim Mabes Polri,” kata Tulus dalam keterangan yang diterima, Senin (25/8).
Ia menyebut penarikan produk secara masal oleh ritel besar seperti Alfamart dan Indomaret, serta penahanan stok oleh produsen dan distributor, telah menyebabkan kekosongan rak. Selain itu juga memicu panic buying di sejumlah daerah.
FKBI menilai bahwa tindakan ini, meskipun dimaksudkan sebagai langkah kehati-hatian, justru memperburuk situasi dan merugikan konsumen yang bergantung pada akses pangan berkualitas.
Tulus menyampaikan, surat telegram Kapolri yang memerintahkan pendistribusian ulang dalam dua hari belum sepenuhnya terimplementasi di lapangan. Ketakutan pelaku usaha terhadap sanksi pidana membuat mereka enggan melepas stok.
“Sehinggakonsumen menjadi korban dari ketidakpastian dan spekulasi pasar,” ungkapnya.
FKBI mencatat bahwa minimnya komunikasi publik dari pemerintah dan pelaku usaha telah menciptakan disinformasi dan praktik penimbunan oleh oknum pedagang besar. Konsumen tidak hanya kehilangan akses terhadap produk yang biasa mereka konsumsi, tetapi juga menghadapi lonjakan harga dan ketidakpastian kualitas.
“Terhadap kasus dan fenomena ini, FKBI menegaskan bahwa konsumen berhak atas informasi yang jelas, akurat, dan transparan mengenai kualitas dan ketersediaan produk pangan; sebagaimana dijamin dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Pangan,” kata Tulus.
Menurutnya, pemerintah perlu mempercepat proses audit dan sertifikasi produk agar distribusi dapat dipulihkan tanpa menimbulkan ketakutan di kalangan pelaku usaha.
“Kebijakan pemerintah, khususnya Kementan, agar lebih transparan dan partisipatif terhadap wacana penghapusan beras jenis premium. Kebijakan ini bisa jadi kontraproduktif, baik dari sisi pelaku usaha, dan hak hak konsumen,” paparnya.
Selain itu, ritel dan produsen harus membuka jalur komunikasi publik yang proaktif untuk menjelaskan situasi dan langkah-langkah pemulihan.
Tulus mengatakan perlunya mekanisme pengawasan yang melibatkan organisasi konsumen. Tujuannya agar kebijakan pangan tidak hanya berorientasi pada penindakan, tetapi juga pada perlindungan hak konsumen.
“FKBI menyerukan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi konsumen dalam setiap kebijakan pangan di Indonesia,” pungkasnya.(H-4)