
KEPALA Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai, daya tarik investasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) harus ditopang secara seimbang oleh insentif fiskal, kepastian regulasi, serta ketersediaan infrastruktur yang memadai.
Menurut Rizal, insentif fiskal yang terlalu dominan berisiko menciptakan race to the bottom, pemerintah kehilangan penerimaan negara tanpa memastikan adanya spillover effect yang signifikan terhadap perekonomian lokal.
“Karena itu, insentif harus dirancang sebagai bagian dari ekosistem yang mendorong produktivitas, transfer teknologi, dan peningkatan kualitas tenaga kerja,” kata Rizal kepada Media Indonesia, Rabu (27/8).
Di sisi lain, meski infrastruktur dasar telah disiapkan pemerintah, banyak KEK masih menghadapi keterbatasan. Konektivitas antar-klaster industri dianggap masih lemah, fasilitas logistik berbiaya murah belum tersedia, sehingga biaya produksi tidak jauh berbeda dengan kawasan industri biasa.
Hal ini, lanjut Rizal, diperparah dengan persoalan klasik di lapangan, mulai dari tumpang tindih regulasi pusat-daerah, masalah pertanahan, hingga lambatnya realisasi komitmen investor. Jika tidak segera diantisipasi, KEK berisiko hanya menjadi proyek properti alih-alih pusat produksi dan inovasi.
Secara faktual, geliat positif memang mulai terlihat, misalnya KEK Gresik yang mampu menarik investasi besar di sektor hilirisasi mineral.
Di satu sisi, kontribusi KEK terhadap perekonomian nasional masih perlu digenjot. Mengutip data Kemenko Perekonomian hingga 2024, total investasi kumulatif KEK baru mencapai sekitar Rp140 triliun, dengan sumbangan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional kurang dari 2%.
“Artinya, meski mampu meningkatkan PDRB di daerah lokasi, KEK sejauh ini belum sepenuhnya menjadi game changer dalam mendorong industrialisasi,” kata Rizal.
Tantangan lainnya adalah penyerapan tenaga kerja. Sebagian besar pekerjaan di KEK masih terkonsentrasi pada sektor berupah rendah atau semi-terampil. Padahal, industri berbasis hilirisasi dan teknologi tinggi membutuhkan tenaga kerja terampil. Akibatnya, banyak perusahaan di KEK masih mengandalkan pekerja migran dari luar daerah.
“Tanpa peningkatan serius kualitas sumber daya manusia (SDM) lokal, KEK berisiko hanya menjadi enklave industri yang minim integrasi dengan perekonomian daerah,” pungkasnya.
Terpisah, Badan Pusat Statistik (BPS) terus berkomitmen meningkatkan ketepatan dan akurasi data, antara lain data industri. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti melakukan kunjungan kerja ke Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal, KEK Industropolis Batang, dan Kawasan Industri (KI) Seafer beberapa waktu lalu.
KEK dan KI dinilai memainkan peranan penting dalam perekonomian, baik di daerah maupun pada skala nasional. Guna memperluas cakupan data, BPS harus hadir mencatat di KEK dan KI agar seluruh aktivitas ekonomi di dalamnya terpotret.
“Sehingga, memberikan informasi komprehensif terhadap skala ekonomi maupun perkembangan perekonomian dari waktu ke waktu,” kata Amalia dalam keterangan resmi beberapa waktu lalu.
BPS, ucapnya, mengharapkan dukungan dan kolaborasi, baik dari pengelola KEK, pengelola KI, maupun perusahaan yang berada di dalamnya dengan memberikan data yang akurat dan sebenarnya secara triwulanan. (E-4)