
ANGGOTA Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo menyoroti sejumlah penyebab kegaduhan di sektor pangan, khususnya terkait dengan produksi dan distribusi beras. Beberapa di antaranya yakni lemahnya koordinasi antarlembaga, serta indikasi Kementerian Pertanian yang lebih fokus pada proyek ketimbang solusi konkret bagi petani dan masyarakat.
Firman mencontohkan, sejumlah program cetak sawah yang digulirkan Kementerian Pertanian tidak menunjukkan hasil signifikan, bahkan kerap malah menimbulkan masalah baru.
“Pejabat di Kementerian Pertanian itu kesannya hanya menciptakan proyek. Proyek cetak sawah baru digembar-gemborkan, tetapi hasilnya tidak jelas. Sementara irigasi teknis yang sudah ada justru beralih fungsi dan dibiarkan begitu saja,” ungkapnya dalam keterangan yang dikutip, Rabu (3/9).
Ia juga menyoroti kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Dengan harga gabah mencapai Rp8.000 per kilogram, kebijakan menahan HET beras premium tetap di angka Rp14.900 dinilai tidak solutif.
“Kebijakan menaikkan HET beras medium tanpa kajian menyeluruh hanya menambah masalah. Akar persoalan ada pada rendahnya produksi dan lemahnya dukungan terhadap petani serta penggilingan padi, bukan sekadar pada angka HET,” jelasnya.
Firman menilai, kebijakan pangan saat ini berjalan tumpang tindih. Setidaknya ada lima lembaga yang terlibat dalam urusan beras, namun koordinasi tidak berjalan efektif. Akibatnya, solusi fundamental sulit diwujudkan.
Ia menegaskan Kementerian Pertanian seharusnya memfokuskan diri pada peningkatan produksi pangan, bukan terjebak dalam urusan perdagangan. “Tugas utama Kementan adalah menghasilkan pangan sebanyak mungkin. Urusan distribusi dan perdagangan seharusnya diserahkan pada lembaga lain yang berwenang,” ungkapnya.
Sebagai perbandingan, Firman menyinggung keberhasilan Vietnam yang dengan lahan pertanian lebih kecil namun mampu memproduksi beras dalam jumlah besar berkat perlindungan kuat kepada petani dan penerapan teknologi pertanian yang konsisten.
Ia mengingatkan, tanpa perubahan struktural dan kebijakan yang berpihak kepada petani, Indonesia akan terus terjebak pada pola impor beras, sementara petani lokal semakin terpinggirkan.
“Kalau tidak ada reformasi menyeluruh, masalah pangan akan terus berulang dan kedaulatan pangan hanya akan jadi slogan,” pungkas Firman. (Ifa/E-1)